Part 9

8.5K 234 4
                                    

Ave senang berada di sekolah itu. Teman-temannya baik. Gurunya juga. Guru-guru memaklumi Ave yang belum bisa menulis dengan lancar, tapi ejaan Ave lumayan bagus.

Ave memandang ke luar kelasnya. Perasaan Ave entah mengapa tidak enak. "Ave?" pangil miss Donna yang merupakan guru Ave itu. Ave langsung memandang gurunya. "Maaf," ucap gadis itu. Miss Donna hanya mengelus rambut Ave pelan lalu kembali melanjutkan pelajaran.

"Miss, may I go to the toilet, please?" tanya Ave. "Silakan," kata miss Donna. Ave pergi meninggalkan kelas dan pergi ke toilet. Setelah membuang air kecil, Ave segera kembali ke kelasnya.

Tepat saat ia membuka pintu ruang kelasnya, segala sesuatu berubah menjadi merah lalu gelap...

***

Ria sedang memotong sayuran untuk makan siang. Sebentar lagi pukul 12 dan Ave akan pulang. Tiba-tiba sebuah guncangan yang sangat keras terjadi. Tubuh Ria sempat oleng, tapi buru-buru ditahannya dengan tangannya.

Ria menyalakan tv dan menonton acara yang ada. Siapa tahu ada berita tentang guncangan yang baru saja terjadi.Setelah 10 menit menunggu, tidak ada berita apapun. Ria memutukan untuk menonton gosip yang sedang marak.

Tayangan telivisi itu tiba-tiba terganti dengan sendirinya. Seorang pembawa berita itu muncul. "Terjadi ledakan bom di Bali. Ledakan itu berpusat di samping mall Q. Sekolah yang berada di sebelahnya, sekolah Tunas Harapan, juga tidak luput dari ledakan bom tersebut. Untuk warga yang mempunyai sanak saudara yang ada di daerah sini, mohon untuk datang secepatnya untuk mengidentifikasi korban," kata pembawa berita itu.

Sekolah yang berada di sebelahnya, sekolah Tunas Harapan, juga tidak luput dari ledakan bom tersebut. Hanya itu yang bisa di dengar Ria. Sisanya? Jangan harap terdengar. Ria membeku ditempatnya. Tunas Harapan. Sekolahnya Ave, bukan? Hati Ria terasa sesak.

Telepon Ria seketika berbunyi, menyadarkannya dari lamunannya. Ria mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa peneleponnya. "Halo?"

"Ria, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Jeremiah panik. Jeremiah juga baru menonton berita itu. Ia khawatir dengan keadaan Ria. "Aku gak tau," jawab Ria. Nyawanya seakan diangkat dan dimain-mainkan keudara. Ingin Ria mengambil nyawanya kembali, tapi tidak bisa.

"Ria. Kamu pasti udah liat beritanya, kan? Sekarang kamu jangan panik. Tarik nafas yang dalam, habis itu buang," perintah Jeremiah. Ria mengikuti perintah Jeremiah.

"Sekarang, kamu panggil taksi, habis itu kamu pergi ke Tunas Harapan. Masih ada kesempatan Ave hidup, Ria. Mungkin ia sedang berada di titik terjauh gedung sekolah itu sehingga ia tidak terkena ledakan, kan? Atau mungkin ia sedang keluar bersama gurunya," kata Jeremiah mencoba menenangkan Ria.

"Kamu ke sana sekarang, make sure Ave gak apa-apa. Aku nanti bakalan nyusul. Sebentar lagi meeting selesai," kata Jeremiah. "Oke. See you," kata Ria. "Ria," panggil Jeremiah sebelum Ria menutup teleponnya. "Hmm?" jawab Ria. "Apapun yang terjadi, kamu harus kuat," kata Jeremiah lalu menutup teleponnya.

Ria pergi menaiki taksi dan pergi melesat ke Tunas Harapan. Masih ada harapan. Ya. Masih ada harapan.

***

Ria membayar ongkos taksi dan pergi meninggalkan taksi itu. Sekolah yang tadinya bagus dan indah itu sudah dikelilingi oleh tali pembatas berwarna kuning. Ria berusaha melewati garis pembatas itu. "Maaf bu, hanya pihak yang berkewajiban yang boleh masuk," kata seorang polisi.

"Saya ibu Avera, pak. Saya harus ketemu anak saya! Saya harus ketemu sama dia sekarang juga!" teriak Ria sambil meronta-ronta. "Ibu, saya mohon maaf sekali. Ibu sekarang tenang dulu. Kami masih harus mencari korban-korban. Pukul 2 siang nanti, keluarga baru diperbolehkan untuk mengecek korban," kata polisi itu.

Marrying The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang