prolog

2.7K 98 7
                                    

Franz berlari keluar menuruni tangga, membiarkan pintu tertutup berdebam di belakang tubuhnya. Kaki panjangnya melompati undakan tangga, hingga anak tangga terakhir kakinya tersandung kemudian badannya terhuyung ke depan, beruntung tangannya tak lepas dari kayu pegangan. Napasnya naik turun detak jantungnya berpacu seperti seorang pelari yang mengitari lapangan. Namun kenyataanya Franz tak sedang berlomba lari atau semacamnya.

Kedua tangan Franz terbuka lebar di depan sebuah mobil jeep yang menyala lampunya, dan suara mesin yang siap melaju. Franz tak peduli jika dia akan menabraknya, tanpa rasa takut sedikitpun Franz menghadang mobil tersebut. Dalam benaknya, mati pun ia rela asal dia mau mendengarkan ucapannya.

"Tunggu, tolong dengarkan aku!" Teriak Franz putus asa, peluh bercucuran dari kedua pelipisnya. Tangannya masih mengembang seperti burung yang siap terbang. Mulutnya tanpa henti berteriak hingga tenggorokannya sakit.

Usaha putus asanya akhirnya membuahkan hasil, dia keluar dari mobil dengan wajah ternoda air mata. Franz meringis pedih, ingin sekali ia menghapusnya.

"Tolong biarkan aku berbicara padamu."

Dia menggelang seraya menghapus air matanya,

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Franz. Semua sudah berakhir, tolong biarkan aku pergi, atau aku akan membencimu selamanya."

"Tidak, kau harus mendengarkan penjelasanku. Apa yang kau lihat tak seperti yang terjadi. Bukan seperti itu kejadiannya aku bisa jelaskan."

Franz mencoba meraih tangannya, namun ditepisnya. Dia kembali masuk ke dalam mobil dan menguncinya.

Franz menggedor kaca mobil dengan kepalan tangannya. Berteriak seperti orang gila hingga menjadi tontonan pejalan kaki yang kebetulan melintas. "Tolong dengarkan aku!"

Saat Franz tak lagi menggedor kaca mobilnya. Dia menginjak gas mobilnya dan mendecit keluar ke jalan raya.

Franz menatap nanar mobil itu, terlambat. Franz gagal, dengan langkah gontai Franz kembali masuk ke dalan cafe lalu duduk menghabiskan sisa malam sebelum pagi menjelang.

Jika pun kau percaya, mungkin akan lebih indah. Karena terkadang matamu menipu hatimu...

***

Franz meminum jusnya dengan pelan. Sekelebat bayangan malam itu kembali berputar di kepala tampannya. Sungguh ingin sekali Franz melenyapkan kenangan yang membuatnya seperti makhluk menyedihkan yang pernah ada di bumi.

Rasa kesal dalam dirinya membuat Franz menjambak rambutnya, membuat beberapa bagian mencuat tak beraturan. Pekerjaan kantornya sudah ia tinggalkan namun bukannya merasa lega ia malah kembali teringat gadis itu, haruskah dia kembali tenggelam bersama berkas sialan agar bisa melupakan wajah penuh airmata itu.

"Apa aku terlihat kacau?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Oh tentu saja, lihat saja ketampananmu akan hilang sebentar lagi."

"Hah, tak mungkin."

Franz menggelengkan kepalanya, mengusir suara-suara yang mengganggu pendengarannya. Seperti orang gila Franz berbicara dengan dirinya sendiri, membuat beberapa pelayan cafe menatap aneh pada kelakuan Franz.

"Disini kau rupanya."

Franz menatap seseorang yang begitu dikenalnya lalu sedetik kemudian Franz merasakan kepalanya dipukul dengan benda tumpul.

"Sialan! Kau Max!"

"Heh, sadarlah! ayo pulang. ibu mencarimu dan aku tak punya waktu untuk mengurus dirimu."

Max menarik bagian belakang kemeja Franz mambuat sang empunya meronta minta dilepaskan.

***

"Ibu, lihat anakmu menjadi gila, cepat hukum dia, sebelum lebih parah lagi," ucap Max begitu sampai di rumah ibu Franz.

SCRAMBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang