part 12

579 50 5
                                    

masih ada yang nunggu cerita ini? Maaf lama update hehhe...
Selamat membaca dan maaf kalau garing dan kuranv greget. Saya mah memang begitu

***

Pintu terdorong terbuka bersama sosok Franz, gelap dan sunyi itu lah yang menyambutnya. Wajar saja saat ini jarum jam menunjuk angka 1 dini hari. Franz mengusap wajahnya guna mengusir lelah lalu tanpa menyalakan penerang, ia berjalan menaiki tanggga ke lantai dua, letak kamarnya. Namun, belum juga kakinya menapaki undakan tangga ibunya sudah lebih dulu mengagetkannya mungkin saja jika bukan berada di rumahnya ia pikir itu hantu.

"Darimana saja kau?" Tanya carol dengan wajah mengantuknya.

"Aku ada urusan makanya aku pulang larut, hm.. bu aku istirahat dulu," kata Franz lalu melanjutkan langkahnya. Ia lelah dan tak berniat menjelaskan tentang keterlambatannya.


Tidak biasanya Franz mengacuhkan Carol seperti tadi, seberapa malam pun Franz pulang pria itu pasti menemani ibunya. Sikap Franz saat ini mengingatkan Carol pada tiga tahun yang lalu, semoga saja itu hanya perasaannya saja. Carol melanjutkan lankahnya menuju dapur, ia berhenti di meja makan.

"Dia bahkan tidak menyentuh makan malamnya," guman Carol sedih.

***

Sama seperti ruang tamunya keadaan kamarnya pun sama, gelap dan sepi hanya suara dari pendingin ruangan yang sepertinya disetel terlalu dingin, hingga Franz bisa merasakan hawa dingin menusuk kulitnya.

"Haah." Desah napas panjang keluar dari bibirnya, dinyalakannya lampu tidur dekat ranjang. Seketika ruangan menjadi sedikit lebih terang, ia dapat melihat tubuh Alexi meringkuk diatas ranjang tanpa sebuah selimut.

"Kau bisa sakit sayang," gumannya lalu menaikkan selimut Alexi, "maafkan aku, seharusnya aku menemanimu bukan pergi tidak jelas seperti tadi." Ia membaringkan tubuhnya disebelah Alexi, ditariknya Alexi lebih dekat padanya.

Menyadari ada yang memeluknya Alexi membuka mata dan ia menemukan suaminya.

Dari mana saja, dia baru pulang, namun pertanyaan itu tidak keluar dari mulutnya.

"Kau terbangun? Alexi," tanya Franz sambil melirik Alexi.

"Kau kedinginan, hm? Biar aku menghangatkanmu." Franz membawa Alexi dalam dekapannya lebih dalam lagi.

***

"Kau pulang terlambat, lagi?" Genggamannya pada ponsel mengerat, hingga nyaris meremukan benda pipih itu. Terkadang ia ingin bertanya pekerjaan apa yang begitu menyita waktu suaminya. Atau itu semua sebagai ganti atas Franz yang menungguinya di rumah sakit?

"Alexi?"

"Hm," jawab Alexi berusaha menjaga nada suaranya.

"Kau marah?"

Apa kau marah? Alexi menertawai dirinya, pantaskah ia marah pada suami yang bekerja?

"Sudah seminggu dan kau selalu lembur." Alexi menyuarakan rasa kesalnya, "jika pekerjaanmu begitu banyak, kenapa kau menolak aku membantumu?"

"Sayang," terdengar napas berat Franz diujung sana, "kau baru saja sembuh, aku tidak ingin kau terlalu lelah, bisakah kau mendengar suamimu ini begitu khawatir?"

"Ya aku tahu, tapi Franz kau juga harus memikirkan kesehatanmu."

"Aku senang kau khawatir seperti itu, tapi tenang saja, suamimu ini sangat kuat, sayang."

"Ya... ya... tuan sok kuat jika kau tumbang nanti maka bersiaplah istrimu ini tak akan memberi ampun lagi," ancam Alexi.

"Huh... kau terdengar mengerikan. Tapi aku suka, ya sudah aku kembali bekerja, baik-baik di rumah ya."

"Franz-"

"Ya?"

"Pulanglah untuk makan siang, kau sering melewatkannya belakangan ini."

"Ya."

Lalu sambungan telepon terputus begitu saja, Alexi menghela napas menghilangkan kesal yang masih tersisa, lalu ia keluar dari kamar menghampiri ibu Franz.

"Ibu, Franz akan pulang untuk makan siang," katanya pada carol.

"Kau membujuknya?"

Alexi mengangguk sebagai jawaban lalu mulai menyiapkan bahan untuk dimasak. Selama cuti  kegiatannya hanya menemani ibu Franz, menonton tv, dan tidur. Terkadang ia merindukan suasana kantor.


Setengah jam kemudian Franz muncul dari balik pintu tanpa suara. Pria itu sengaja mempercepat kedatangannya untuk memberi Alexi kejutan. Ditangan kanannya sebuah kantong toko coklat favorit Alexi. Berharap dengan sebuah hadiah Alexi tidak terlalu marah dengannya lagi. Lantas pria itu menghampiri istrinya yang masih fokus memasak. Dipeluknya tubuh ramping Alexi dari belakang.

"Kau tidak terkejut?" Tanya Franz saat tak mendapat reaksi kaget Alexi. Dalam benaknya wanita itu akan berjengit dengan kedatangannya yang tiba-tiba lalu tersenyum senang. Namun, yang didapat justru sebaliknya Alexi tetap melanjutkan memasak meski kedua tangannya melingkar mesra pada perut Alexi.

"Tidak."

"Kau sudah tahu aku datang?" Franz masih tidak percaya. Ia berpikir Alexi mempunyai mata dibelakang kepalanya.

"Suara mobilmu tidak dapat disembunyikan juga bau parfummu yang sangat aku kenal," kata Alexi sambil memindah masakannya dalam piring dengan Franz yang masih memeluknya. "kecuali jika kau mengganti parfummu," lanjutnya.

"Penciumanmu sangat bagus," bisik Franz seraya mengigit kulit leher Alexi.

Alexi hampir menjatuhkan piringnya, beruntung ia mempunyai refleks bagus hingga makanannya tak berakhir berantakan. "Franz!" Geramnya melotot pada Franz yang terkikik geli.

"Menyingkirlah kau membuatku sulit bergerak," kata Alexi berusaha meredam dirinya, sentuhan Franz pada lehernya membuat tubuhnya panas seketika.

Franz tersenyum lalu melepaskan pelukannya. Ia kemudian membantu Alexi menyiapkan makanan di meja makan, "aku membelikanmu coklat," ucapnya seraya menunjukan kantong yang tadi dibawanya.

"Kebetulan sekali aku sedang memikirkan coklat hari ini, terima kasih," sahut Alexi kemudian membuka bungkus coklat yang dibawa Franz.


"Hanya terima kasih?" Franz menaikkan sebelah alisnya mengoda Alexi.


"Kau mengharapkan apa?"


"Aku memikirkan hal lain sebagai tanda terima kasih."


"Sudah ku duga kau tak tulus memberikanku coklat," dengus Alexi. "Aku kembalikan saja, tapi maaf aku sudah makan separuhnya," katanya seraya mengembalikan kantong coklatnya pada Franz.


Franz menerima kantong coklat tersebut namun, saat Alexi akan berbalik menjauh, Franz menarik tangan Alexi sehingga kini istrinya duduk dipangkuannya. Alexi terlihat akan protes tetapi Franz lebih dulu membungkam mulut Alexi. Mereka berciuman untuk waktu yang lama hingga suara deheman berhasil menyadarkan mereka.

Alexi turun dari pangkuan Franz dengan perasaan malu luar biasa, meski sering tertangkap sedang berciuman dengan Franz ia tetap saja malu.

"Sepertinya kalian harus masuk ke dalam kamar dan menyelesaikan permainan kalian," kata Carol lalu menarik kursi untuk kemudian duduk dan menatap anak dan menantunya, "Franz kau mau makan siang atau melanjutkan makan siangmu yang lain?"


"Tentu saja makan siang," jawab Franz lalu menarikkan kursi sebelahanya agar Alexi duduk, "wajahmu merah, kau sakit?"

"Aku malu," desis Alexi.


"Masih saja malu," kekeh Franz.

Alexi mendengus kemudian mulai menyendokan makan siang untuk Franz.


"Lexi, seharusnya kau menghukum suamimu ini, sudah sering pulang malam tapi seenaknya saja mendapat ciuman," guman Carol menatap Franz, "kemana saja kau, pulang larut bahkan melewatkan makan siang, kau tidak memikirkan perasaan istrimu?"

"Tidak apa-apa bu, pekerjaannya banyak tapi sayangnya aku tidak diijinkan membantunya, biarkan saja dia pulang larut. Jika dia tumbang nanti aku tak akan mengursnya lagi," ucap Alexi berapi-api.

Franz tersenyum terima kasih pada istrinya meski ucapan Alexi sarat akan ancaman namun, ia bersyukur ucapan Alexi berhasil membungkam ibunya.

sedangkan Carol mencibir putranya yang tersenyum penuh kemenagan. Dalam hati ia lega setidaknya anak dan menantunya terlihat baik-baik saja.

Hingga akhirnya makan siang selesai dan Franz harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Aku pergi dulu, jangan tidur terlalu malam," kata Franz setelah mengecup dahi Alexi.

Alexi mengangguk, "jangan lupa makan malam dan hati-hati."

Selanjutnya Alexi menyaksikan Franz masuk ke mobilnya hingga mobil tersebut menghilang masuk ke jalan besar.


Alexi baru saja selesai membersihkan peralatan makan saat ponsel dalam sakunya bergetar, ia segera menjawab panggilan tanpa melihat nama yang tertera pada layarnya. Ia berpikir itu Franz tapi suara lain yang menyapanya.

"Ed?" Ia memang sempat berbagi nomor telepon dengan tantangga lamanya tersebut tapi, ia belum pernah  mencoba menghubungi nomor tersebut.


"Apa kabar Alexi?" Suara Ed diseberang sana menyadarkan Alexi.


"Aku baik, bagaimana kabarmu?"


"Baik."

Tak ada kelanjutan dari Ed membuat Alexi mengerutkan kening, untuk apa Ed menghubungi jika hanya diam.

"Ed kau masih disana?"

"Ah, ya. Alexi bisakah kita bertemu."

Alexi tampak menimbang, "baiklah, dimana kita bisa bertemu?"

"Coffeshop pertama kita bertemu, baiklah sampai bertemu Alexi."

***

SCRAMBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang