PROLOG

3.2K 207 9
                                    

"AKU SUDAH MEMPERINGATKANMU BERULANG KALI, JANGAN PERNAH MENEMUI LELAKI ITU!"

PRANG

Gadis kecil itu memejamkan kedua matanya dan semakin meringkukkan tubuh di bawah meja. Ia telah berusaha untuk membekap kedua telinganya dengan jemari mungilnya, namun sayup-sayup kegaduhan itu masih membengung pada gendang telinganya. Bahkan begitu kentara.

Ragu-ragu, ia merangkak perlahan. Melalui celah dari balik pintu ia mendapati suguhan aksi kekerasan secara sepihak yang dilakukan oleh Ayahnya kepada Ibunya. Dengan kedua matanya sendiri gadis kecil itu menyaksikan bagaimana Ayah dan Ibunya saling melontarkan teriakan yang bersahutan, dan selalu diakhiri dengan salah satu benda yang melayang ke mana saja.

Gadis kecil itu tak dapat berkutik. Bibirnya yang mengatup gemetar, pun dengan jemari mungilnya. Betapa ia ingin berlari dan menghadang serangan Ayahnya itu. Betapa ia ingin mendekap dan melindungi Ibunya dari hantaman benda keras dan tamparan Ayahnya.

Namun ia masih teringat jelas akan kejadian tempo hari, di mana kepalanya tak sengaja terbentur meja ketika hendak menghalau serangan Ayah kepada Ibu. Bahkan setelah kembali dari rumah sakit untuk mendapat jahitan, Ayah masih memberinya pelajaran kecil yang biasa ia berikan pada anak gadisnya itu; memukul tulang keringnya dengan sebilah rotan. Gadis itu menyentuh bekas lukanya yang mendadak nyeri akibat mengingat kembali peristiwa tersebut.

Mendadak gadis kecil itu tersentak begitu menyadari bahwa Ayah telah menarik dan mencengkeram tangan Ibu secara paksa, membawanya pergi ke suatu tempat. Dengan segenap rasa keingintahuan, gadis itu beranjak dan turut mengekori ke mana Ayah membawa Ibu pergi dengan mengendap-endap.

Gadis itu menghentikan langkahnya dan menyembunyikan tubuhnya di balik pilar dinding tatkala Ayahnya berhenti di hadapan almari yang berada tak jauh darinya. Tanpa pikir panjang, Ayah membuka almari tersebut dan membanting semua perabot berbahan dasar kaca di dalamnya dengan brutal.

Gadis kecil itu membulatkan kedua matanya terkejut, tak menyangka akan aksi Ayahnya yang tiba-tiba itu. Ibu meronta-ronta dan berusaha menahan pergelangan Ayah, namun dengan sekuat tenaga Ayah menepisnya hingga membuat Ibu terjungkal ke belakang dan mendarat pada lantai berlumur serpihan kaca. Almari itu merupakan tempat untuk meletakkan koleksi perabot kaca milik Ibu, dan Ayah dengan semena-mena memporak-porandakannya tanpa ampun.

Jemari gadis itu mengepal erat, menahan segala luapan amarah yang membuncah dalam dadanya. Begitu Ayah meninggalkan Ibu begitu saja setelah memecahkan semua perabot dalam almari tanpa tersisa, gadis kecil itu berlari menghampiri Ibunya dengan segenap kekhawatiran. Ia bersimpuh, tak sanggup membiarkan Ibunya yang terjatuh dengan serpihan kaca yang menggores beberapa bagian tubuhnya dan meninggalkan bercak darah pada keramik.

"I.. Ibu! Apakah Ibu baik-baik saja?" Pertanyaan lumrah bagi seorang gadis kecil yang begitu polos sepertinya, terlontar begitu saja dengan ekspresi yang menyiratkan rasa iba. Pada awalnya Ibu memang terkejut mendapati putri kecilnya itu berada di hadapannya, namun ia mencoba untuk menutup rasa sakitnya dengan senyuman kecil.

Tiba-tiba saja, Ibu menyerahkan sebuah gelas kaca berlumur bercak darah yang sejak tadi berada dalam genggamannya kepada putrinya itu. Gadis tersebut hanya menerimanya dengan pandangan kosong dan kebingungan. Belum sempat ia menanyakan apa maksud Ibu memberikan gelas ini, Ibu buru-buru menjelaskan seraya tersenyum tipis, "Ini adalah satu-satunya benda yang dapat Ibu selamatkan. Ibu ingin kau menjaganya dengan baik."

To be Continue

SHARDS OF GLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang