CHAPTER 12

978 158 28
                                    

Mengambil satu tarikan nafas, kemudian membuangnya perlahan. Mengambil satu tarikan nafas lagi, kemudian menghembuskannya. Irene berusaha menyetabilkan degup jantungnya yang tak karuan sejak ia menapaki halaman sekolah.

Seperti biasa, ia berjalan menunduk dengan helaian rambut yang jatuh menyembunyikan wajahnya. Hanya saja kali ini dengan suasana yang lebih berbeda. Irene dapat merasakan nyeri di sekujur kakinya tiap ia mengambil langkah. Namun seberapa besarpun sakitnya, ia sendiri sudah bertekad untuk menahannya hingga akhir.

Irene sendiri bahkan tak mengerti mengapa ia masih memaksakan diri untuk muncul dengan keadaan seperti ini. Ia tak tahu apakah kedatangannya ini adalah suatu pilihan yang tepat atau justru merunyamkan suasana. Namun setidaknya orang lain tak boleh melihat sisi lainnya yang rapuh dan gelap itu.

Belum.. belum saatnya.

"Bukankah itu Irene?"

Sayup-sayup keramaian perlahan-lahan mulai terdengar sewaktu ia melangkah menyusuri koridor. Jantungnya kembali berdebar dengan cepat, keringat dingin mengucuri pelipisnya. Irene dapat memandang beberapa pasang sepatu menghindar bahkan menepi ketika ia lewat, namun ia juga dapat merasakan beberapa pasang mata terpusat padanya seolah-olah ia adalah seekor itik buruk rupa kumal yang tersesat di antara sekumpulan angsa putih.

Semakin ia berjalan lebih jauh, semakin banyak pula hujatan dan makian yang ia dengar. Meski samar-samar, namun telinganya dengan cepat merangsangnya. Walau bagaimanapun, ia tak dapat berhenti di sini begitu saja. Semuanya harus berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan langkah sigap yang dipaksakan, ia memasuki ruang kelasnya yang lama. Pikiran bahkan perasaannya kian kalut, tercampur aduk hingga ia sendiri tak tahu mana yang lebih mendominasi. Ia harus menelan pahit semua kejayaan yang telah susah payah ia pertahankan, namun pada akhirnya ia tak mampu menggenggamnya sedikit lebih lama.

Irene menduduki bangku di sudut paling belakang. Ia memandangi meja lamanya yang dulu ia gunakan kini telah dipenuhi coretan-coretan abstrak dan diselimuti debu. Bahkan meja pun seolah-olah tak sudi membiarkannya untuk membenamkan kepala barang sebentar pada permukaannya.

---

Sesaat setelah bel istirahat berbunyi, Taehyung memutuskan untuk beranjak ke luar kelas lebih dulu dari yang lain. Ia menyadari betapa canggung dan asingnya situasi di kelas olim semenjak insiden kemarin. Tidak ada yang berani menyairkan suasana, apalagi sekedar untuk mengajaknya berbicara. Sekalipun Sungjae yang seperti biasa mengeluarkan humor hambar pun memilih untuk bungkam.

Taehyung pribadi tidak masalah dengan hal itu, hanya saja ada banyak hal yang tak seharusnya ia pikirkan justru semakin sering berlalu lalang dalam benaknya. Kelihatannya sepele, namun benar-benar membuatnya frustasi. Bahkan ia sudah lima kali meminta izin untuk ke kamar mandi selama pelajaran berlangsung. Membasuh wajah saja rasanya masih tak cukup.

Ia menghentikan langkahnya sewaktu hendak melewati tikungan pada koridor. Sebelah alisnya terangkat, heran dengan segelintir siswa yang saling berbisik di depan sebuah ruang kelas. Taehyung mulai paham sewaktu ia melihat papan identitas ruang kelas tersebut. Pantas saja, itu ruang kelas Irene. Nampaknya isu itu telah menyebar luas.

Mencoba acuh dengan hal itu, Taehyung kembali melangkah dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Semua akan baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan; pikirnya.

BRAK

Belum sampai dalam radius lima meter, Taehyung kembali menghentikan langkahnya. Mendadak gelak tawa mendengung di telinganya. Anehnya, gelak tawa ini seperti bukan pada umumnya. Rasanya terdengar sarkastis dan penuh sindiran yang tersirat di dalamnya ketika ia mendengarnya lebih jeli.

SHARDS OF GLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang