CHAPTER 4

1K 158 6
                                    

Irene membekap kedua telinganya seraya memejamkan kedua matanya sejenak sewaktu suara berdebam di luar sana kembali terdengar untuk kesekian kalinya. Ia pikir sudah seharusnya ia  terbiasa dengan hal ini, tetapi tetap saja berbagai perasaan yang bercampur aduk itu kembali mengeruhkan suasana hati dan jalan pikirannya.

Sekejap ia beranjak dari posisi meringkuknya dan membawa beberapa lembar soal yang semula tercecer di atas lantai ke dalam apitan lengannya. Ia mengambil langkah tegas meninggalkan kamar pribadinya yang begitu luas itu, dan ketika jemarinya memutar kenop pintu sebuah kotak tissue nyaris mendarat tepat di wajahnya bila saja ia membuka pintu lebih awal.

Sekilas Irene memandang kotak tissue di di dekat kakinya tersebut sebelum mengangkat pandangannya, menghadap kedua orang tuanya yang turut memandanginya dari ruang keluarga. Bukanlah hal yang asing bagi Irene ketika ia selalu mendapati Ayahnya mengangkat sebelah tangannya dengan tinggi; dengan maksud hendak menampar Ibunya, nyaris untuk kali ini.

Ayah buru-buru berlagak merapikan dasinya dan berdeham kecil. Rahangnya mengeras dan sorot mata elangnya itu seolah-olah hendak menerkam Irene, namun tiba-tiba ia mengulas sedikit senyum tipis yang terkesan sarkastis kepada putrinya itu.

"Apa yang sedang kau lakukan di sana? Seharusnya kau belajar dengan keras, kan? Kau ingin membuatku bangga, kan?" Ayah menghujam dengan berbagai pertanyaan yang mengancam.

Irene hanya terdiam, sama sekali tak mengalihkan pandangannya barang sedetik. Memperoleh reaksi yang tak berarti seperti itu membuat Ayahnya sedikit memasang ekspresi garang sembari memasukkan kedua tangannya di balik saku celana.

"Kau tahu akibatnya bila prestasi akademikmu menurun, kan? Akan lebih baik bila kau tidak mengecewakanku kali ini," kecam Ayahnya di balik pengucapannya yang tenang.

Perkataan Ayahnya itu menyadarkan Irene dari lamunannnya. Ketika manik mata Irene bertemu pandang dengan Ibunya, berbagai perasaan yang membaur itu kembali bergerumul menyesakkan dadanya. Bahkan ia baru menyadari terdapat segores luka baru tepat pada pipi kanan ibunya yang masih memerah.

Jemari Irene mengepal begitu erat, bahkan dadanya semakin berkecamuk ketika Ibunya memandangnya dengan sayu; seakan memberi isyarat agar ia tak membantah perintah Ayahnya itu. Irene menyorot Ayahnya dengan pandangan tajam, meskipun ia tahu Ayah tak akan begitu menyadari karena kedua matanya selalu tersembunyi di balik helaian poninya.

"Aku tahu. Aku akan berusaha," balas Irene singkat pada akhirnya sebelum ia kembali memasuki dan menutup pintu kamarnya.

---

"INI LUAR BIASA!"

Sungjae bersorak girang seraya berlarian mengitari lapangan rumput sekolah dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Hanbin beserta yang lain hanya tertawa kecil menanggapi kekonyolan temannya itu dari bangku di tepi lapangan. Hari ini murid-murid kelas olim memiliki agenda olahraga pagi, dan nantinya akan dipatenkan selama beberapa pekan ke depan.

Guru Son berujar bahwa setidaknya murid sesekali harus menghirup udara segar untuk kembali menjernihkan pikiran dan jasmani mereka. Tentu saja hal ini disambut dengan antusias oleh murid-murid kelas olim, terlebih hari ini tidak ada kelas lain yang memiliki agenda olahraga pagi sehingga mereka tidak perlu repot-repot berbagi lapangan dengan yang lain seperti saat di kelas reguler dulu. Lapangan seluas itu seperti menjadi milik sendiri.

Sembari meregangkan kedua tangannya ke samping, Taehyung menghirup udara dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Senyumnya mengembang sewaktu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut lapangan. Kalau sudah seperti ini ia jadi kembali mengenang masa-masa saat menghabiskan waktu dengan gang Bangtan.

SHARDS OF GLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang