CHAPTER 14

989 152 20
                                    

"Ini rekap pekerjaan yang harus segera kau selesaikan. Batas waktu pengumpulannya satu minggu dari sekarang."

Irene menerima sebuah kliping setebal 2cm yang diberikan oleh Guru Park. Ia membalik lembar demi lembar kliping tersebut secara tak runtut dan mengulum bibirnya. Belum genap satu bulan ia meninggalkan kelas reguler, pekerjaan rumahnya saja sudah menggunung seperti ini. Bahkan hanya dengan melihat sekilas soal-soal yang tertera saja sudah membuatnya pusing.

Memang ia dikenal sebagai siswa yang pandai. Tetapi jika ia ketinggalan pelajaran, sekalipun dia memiliki otak yang cerdas tetap saja dirinya tertinggal selangkah dengan teman-temannya, kan? Bahkan ia yakin tak ada yang sudi untuk meminjamkannya ringkasan materi kepadanya.

Sama saja ia harus mengerjakan soal tanpa memiliki pedoman.

"Oh, masih ada satu lagi!" Guru Park memekik. Irene mengernyitkan dahinya begitu guru itu menyodorkan selembar kertas kosong padanya.

"Apa yang harus kulakukan? Kertas ini kosong," tanya Irene.

"Kau harus menulis esai mengenai hasil praktikum Biologi minggu lalu. Kalau tugas yang ini paling lambat dikumpulkan empat hari dari sekarang," tutur Guru Park.

Bagus, sudah jatuh tertimpa tangga pula; batin Irene.

Mana ia tahu praktikum apa yang Guru Park maksud. Ia bahkan baru kembali menjadi murid kelas reguler kemarin lusa. Jangankan tugas, pelajaran yang diterangkan saat pertama kali ia masuk saja ia sama sekali tak paham.

Belum sempat Irene menanyakan tugasnya, Guru Park lagi-lagi menambahkan. "Ah, dan tugas esai itu berdasarkan praktikum kelompok. Kau harus menyesuaikan esaimu dengan anggota kelompokmu yang lain."

Andai saja mampu, Irene ingin sekali mengubur dirinya hidup-hidup.

Selama ini, Irene sebisa mungkin menghindari apa itu yang disebut 'kelompok dalam masyarakat'. Jujur saja, ia tak mampu membaur dengan orang banyak. Bergaul bukanlah suatu hal yang tercatat dalam kamusnya.

Itulah mengapa tatkala guru mengharuskan para muridnya untuk mengerjakan tugas secara berkelompok hal itu justru membebani Irene, bukannya meringankannya sama sekali. Bahkan tak ada satupun yang mau menerima keberadaannya itu dengan sukarela karena kepribadiannya yang kelewat pasif.

Dan sekarang ia harus membaur lagi, tetapi dalam kondisi buruk; dimana ia telah dikenal sebagai 'murid bertangan kotor'--julukan yang diberikan oleh seantero sekolah padanya.

"Lee Hyeri adalah ketua regumu, anggota lainnya adalah Bang Minah dan Park Sojin. Kau dapat mengonfirmasi  pada mereka," jelas Guru Park dengan memberi gestur pada Irene agar ia dapat kembali ke bangkunya. Irene mengangguk paham.

Tanpa perlu mengedarkan pandangannya, Irene tahu betul seluruh pasang mata mengarah padanya sewaktu ia membelah jalan dengan langkahnya. Memandangnya dengan rendah seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak penting dan tak berguna. Bahkan Irene mampu menangkap sayup-sayup bisikan umpatan dan cemoohan yang ditujukan padanya.

Dengan berat hati, Irene menghentikan langkahnya tepat di hadapan bangku Hyeri. Sebelum sempat ia mengeluarkan sepatah kata, Hyeri buru-buru berujar; "Yura sudah pindah ke kelompok kami. Tanya saja pada Sunggyu dia sudah menemukan anggota baru atau belum."

Ketika Irene hanya sekedar menolehkan kepalanya ke direksi Sunggyu, lelaki itu sudah memasang wajah dinginnya dengan pandangan yang menusuk pula. Tak betah dengan situasi seperti ini, Irene buru-buru mengalihkan pandangannya dan kembali menduduki bangkunya.

Apa yang telah ia perkirakan rupanya benar-benar terjadi. Jelas saja, mana mungkin ada yang mau menerimanya menjadi anggota kelompok? Memangnya ada yang sudi meminjamkan esainya padanya? Irene hanya dapat berdecih dan meremat jemarinya geram.

SHARDS OF GLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang