Dulu, pernah sekali aku mendengar pernyataan dari seorang teman. Bahwa, orang yang berencana akan melangkah kejenjang pernikahan akan mengalami masa-masa yang sulit. Dulu, aku menjawabnya dengan polos. Bukannya pasti memang akan ada masa-masa di mana para pasangan itu akan bertengkar hanya karena hal-hal sepele? Seperti memilih warna undangan misalnya? Begitu tanyaku dulu. Dan dengan cepat temanku tersebut menjawab "Bukan. Kalau masalah itu sih masih terbilang wajar. Yang paling berat dan sering terjadi ini adalah sebuah godaan yang datang tanpa diundang!" Dan aku hanya menatapnya tanpa minat apa-apa. "Misalnya?" Tanya salah satu temanku yang ikut mendengarkan. Ya, Entah itu godaan yang datang dari masa lalu, seperti mantan pacar misalnya. Atau mungkin juga cinta pertama yang tiba-tiba hadir kembali, sengaja membawa kenangan unyu masa remaja dulu hingga mampu membangkitkan gejolak gairah jiwa Abege yang sempat terabaikan. CLBK, Cinta Lama Belum Kelar. Atau bisa jadi godaan itu datang saat tanpa sengaja salah satu dari calon pengantin menemukan cinta yang lain di luar sana. Ya kan bisa jadi begitu. Yang jelas bukan sekali ataupun dua kali kejadian seperti itu menimpa para pasangan yang berniat untuk menikah. Begitu kata temanku dulu. Saat itu Aku hanya bisa menanggapinya dengan mengangguk-angguk unyu sambil ber-oh ria saja. Tidak terlalu memusingkan akan hal itu. Karena pada kenyataannya aku memang belum ada niatan untuk menikah saat itu. Ya, niatan sih sudah ada. Malah justeru sangat ingin, tapi masalahnya adalah... belum ada yang mau untuk mengajakku melangkah kejenjang tersebut.
Aih, ngenes banget kan?
Kuhembuskan napasku dengan berat. Kembali menimang-nimang sebuah undangan di tangan. Awalnya hanya ingin kembali memastikan saja, apa benar ini undangan darinya. Tapi sebuah Photo di dalam undangan tersebut menjelaskan segalanya. Ini memang undangan darinya. Bukan hanya Photo, namanya pun tercetak jelas di sana.
Haikal Fatihul Ihsan.
Kugumamkan beberapa kali sederet nama itu. Sengaja membacanya lambat-lambat, dengan harapan salah satu huruf di sana bisa hilang. Ya siapa tau saja nama itu bisa berubah kalau aku membacanya secara lambat kan? Ah, pemikiran bodoh memang. Seberapa banyak pun aku mengulang namanya dan selambat apapun aku membacanya, tetap saja, nama yang tertulis di undangan tersebut sama sekali tidak berubah. Jangankan berubah, bergeser satu huruf pun tidak.
Ah, Sayang sekali.
Kuletakan kembali undangan tersebut ke atas meja, bersebelahan dengan ponsel milikku. Lagi-lagi dengan harapan yang sama. Siapa tau satu atau dua huruf yang ada di sana bisa menghilang atau rontok gitu.
Ugh, bodohnya aku!
Kupejamkan kedua belah mataku perlahan. Rasa perih yang diakibatkan terlalu lama memelototi undangan tersebut membuat air mataku menggenang. Bukan. Bukan karena ingin menangis, akan tetapi, mataku terasa kering karena terlalu lama melotot tanpa mau berkedip.
Ah, yakin? Kuusap wajahku dengan sedikit kasar.
Ya, Tuhan... Aku masih belum bisa mempercayai akan hal ini.
Saat mataku kembali terbuka, kularikan tangan kananku untuk meraih ponsel yang tergeletak di samping undangan tersebut. Tanpa mau repot-repot untuk memegangnya perlahan kugeser layar ponsel yang masih tegeletak di atas meja. Kucari sebuah pesan yang beberapa hari lalu sempat aku abaikan. Setelah menemukannya di baris ke lima, kubuka pesan tersebut, untuk kembali aku membaca isinya secara berulang-ulang. Sama seperti membaca nama dalam undangan barusan.
Bisa kita ketemu, Dee?
Begitu isi dari pesannya. Pesan yang baru aku sadari maknanya setelah membaca sebuah berita yang tersebar di dalam sebuah group Alumni sekolah.
"Dee," Sapaan yang terdengar tidak asing itu membuatku mendongakan wajah.
Tubuhku menegang sesaat. Di sana. Di hadapanku. Di sebrang meja yang kupilih untuk duduk. Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak berwarna gelap yang dikenakannya sedang menatapku sayu. Tidak ada senyum cerah -sinis- yang sempat Dia berikan kepadaku tiga hari yang lalu. Tepat saat undangan tersebut datang ke rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RomanceTidak ada cerita yang istimewa, di sini hanya ada kumpulan-kumpulan sampah yang kadang tanpa permisi timbul di dalam otak saya begitu saja dan selalu menuntut untuk segera dikeluarkan.