Si tersayang

2.4K 48 1
                                    

Saya tidak pernah menyangka bahwa persahabatan aneh ini akan terus berlajut hingga kami -Saya dan keempat sahabat yang sudah saya anggap seperti saudara saya sendiri- memasuki usia... senja? Ehem... maksud saya... Errr... sedikiiiittt... Tua. Ssshhh... Sedikit lho yah sedikit ini, nggak banyak-banyak kok.

"Sedikit dari mana? kita emang udah Tua kok, akuin aja kenapa sih, malu tuh sama uban." Suara yang sangat kami rindukan tiba-tiba saja menghancurkan narasi cerita yang ingin saya tulis. Ish, kebiasaan buruk nih!

"Eh? dari mana asal itu suara yah? perasaan saya lagi narasi deh, bukannya lagi dialog. Ck," Sindir saya sinis.

"Oh, jadi situ lagi narasi tho? saya kira lagi ngobrol sama saya, Hehehe..." Suara itu terkekeh geli, kekehannya -yang sama sekali tidak terdengar merdu- itu membuat saya mati-matian untuk menahan sudut-sudut bibir saya agar tidak tertarik untuk mengulas sebuah senyuman.

Senyuman rindu untuknya.

"Ish, udah deh ah jangan nongol dulu. Situ belum keluar nih ceritanya," Kembali saya menimpali suara itu.

"Ssshh... emang saya bakal nongol di cerita ini yah? kalian masih nganggep saya? Ya Alloh, demi apapun yah, saya seneng sekaligus terharu masa dengernya. Jadi sedih ah jauh dari kalian." Suara cerianya seketika berubah menjadi sendu, dan itu membuat saya menahan nafas sejenak demi meresapi setiap kata-kata yang diucapkanya.

Sedih yah?

Sama. Kita juga sama sedihnya seperti kamu. bisik saya.

Untuk beberapa saat saya memejamkan mata, merasakan hembusan angin sore yang membawa kembali rasa sakit di dalam dada saya. Pelan, saya menggigit bibir bawah saya berusaha untuk menghalau segala rasa yang berkecambuk -yang pastinya sangatlah menyiksa saya-

Perih dan sesak seketika menggantikan rasa bahagia itu.

"Hey, kok malah diem?"

"Hm, Situ kan bakal jadi pemeran utama dari cerita ini," Perlahan saya membuka kedua belah kelopak mata saya, menatapnya penuh rasa rindu. Seulas senyuman dan sebuah pelukan hangat saya berikan untuknya.

"Kangen sama saya yah? kangennya pake banget nggak nih?" Akhirnya suara cerianya kembali mengalun di telinga saya, Membuat dada saya yang masih merasakan perih ini terasa sedikit menghangat.

"Kagak!" Jawab saya.

"Ish, nyebelin! sana ah, jangan peluk-peluk saya." Kali ini saya yang tekikik geli.

"Ngambek?"

"Kagak, saya bosen dipeluk situ mulu. Saya pengennya dipeluk sama..."

"Sama Si pendek tukang pamer badan itu?" Potong saya cepat,

"Ih, itu kan dulu waktu dia masih muda. Sekarang mah pasti udah tobat dia,"

"Yakin?"

"Ssshhh... nggak sih," Jawabnya ragu,

Hahaha... Dasar! pecinta ikan nemo.

"Oh, iya. Yang lain kemana? kok nggak keliatan? nggak pada kangen saya napa? padahal saya kangen banget lho," Suara itu bertanya dengan nada cemas.

"Bentar lagi juga mereka dateng kok, sabar yah." Ujar saya menghiburnya, perlahan dengan tangan sedikit bergetar saya mengelusnya dengan rasa sayang.

"Terimakasih yah, kalian masih inget dan masih tetep sayang sama saya. Saya beneran seneng banget, pengen peluk kalian satu-satu,"

"Yeee... katanya tadi bosen dipeluk sama saya," Saya mencibirnya.

"Ish, jambak juga nih,"

"Hihihi... jambak deh kalo bisa mah, saya rela dah,"

"Iiihh... Diaahh...." Dia mulai merengek manja.

"Apa?"

"Di?" Panggilan itu membuat saya sedikit terkejut, cepat-cepat saya menoleh kebelakang.

"Eiiyyy... Si Mbak, kalo mau nongol kasih kode dulu kek gitu, Kaget ini saya," Ucap saya sambil mengelus-ngelus dada saya. Ya alloh, untung nggak jantungan ini saya. umpat saya kesal.

"Lah? itu barusan udah saya kasih kode kan? manggil nama kamu," Jawabnya cuek,

"Ih, udah ah jangan ribut. Aku kan mau melepas rindu sama twin-ku nih, kalo kalian mau ribut pulang aja gih sana," satu lagi suara gaduh mendekati kami. Eh, bukan satu tapi dua.

Selain ada Mbak Mitha -yang tadi mengagetkan saya- Mbak Haura dan Mbak Mey juga sudah dateng.

Hey, kita udah kumpul lho! kamu seneng kan?

"Jeehh... Jauh kaliiii Ra. Masa iya Saya sama Diah harus pulang naik pesawat dulu terus baru berantem gitu? ih, ogah."

"Ya, mangkannya diem napa sih mbak." Sahut Mbak Mey.

"Iya Mey iya. ini saya udah mau diem kok, udah kalem banget ini." Oceh Mbak kami -Mbak Mitha-

"Kalian lama banget sih Mbak, dari mana aja, eum?" Tanyaku setelah semuanya mengambil tempat masing-masing, kami berempet duduk mengelilingi Dia -Seseorang yang sangat kami sayangi-

"Lah? ini kan jadwal kamu buat ngobrol sama 'Si Tersayang' tho? jadi kita-kita mau nagsih kamu waktu lebih banyak buat ngobrol sama Dia," Jawab Mbak Mitha sambil mengelus 'Si Tersayang'.

"Oh, iya yah. Saya lupa masa," Saya hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk kepala saya yang tertutup jilbab.

"Dih, kamu mah pikunan, Di. Hati-hati tuh gejala penyakit orang tua, Hihihi..." Celetuk Mbak Mey,

"Iya hati-hati tuh, Di." Mbak Haura ikutan menyahuti,

"Idih, Sesama orang yang udah berumur jangan saling nyerobot ah. Jelek itu jelek!"

"Hahaha..." Derai tawa mereka pecah di tempat yang sepi ini, akupun ikut tersenyum bahagia.

Akhirnya kami bisa bertemu lagi dengan 'Si Tersayang', walaupun setiap tahun pasti kami akan menemuinya tapi rasa rindu itu sama sekali tidak berkurang sedikitpun di hati kami. Kami selalu merindukan kehadirannya di tengah-tengah kami.

"Assalamu'alaikum Sayang, Mbak dateng nih. Kamu kangen sama Mbak-mu yang Unyu ini nggak?" Tanya Mbak Mitha penuh rasa Rindu.

'Kagak!'

"Hihihi... Udah pasti Dia bakal bilang kayak gitu yah?" Mbak Mitha tertawa dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Heum, Dia bilang nggak kangen sama sekali sama Mbak. Dia cuma kangen sama Mbak Haura," Jawabku sambil ikut tertawa hambar.

"Twin, Aku kangen banget tau." Suara Mbak Haura terdengar bergetar memanggil 'Si Tersayang', di sampingnya suara isakan kecil dari Mbak Mey mulai terdengar. Saya berusaha untuk tetap tersenyum, walau air mata tetap saja menetes.

'Saya juga kangen kamu Twin, Mey jangan nangis lagi dong sayang! saya jadi sedih lagi nih,'

Suasana di sekitar kami mendadak menjadi hampa, rasa sesak itu merangsek masuk, menjerat kami dengan kuat dan kepingan kenangan bersamanya satu-persatu berputar di otak kami masing-masing. Hembusan angin yang membawa harum bunga kamboja menambah rasa sakit itu, kami berempat menatap penuh rindu pada pusat pusara tempat Dia tinggal saat ini. Sebuah tempat yang memisahkan kami selama bertahun-tahun lamanya. Tempat yang Abadi baginya, tempat peristirahatan terakhirnya.

Meskipun tempat itu sangat jauh dari jangkauan kami, Tapi tempat itu bukanlah penghalang bagi kami untuk terus berkomunikasi dengannya. Kami punya cara masing-masing untuk bisa berbicara dengan 'Si Tersayang'. Ya, seperti yang tadi saya lakukan. setiap tahun kami berempat mempunyai jadwal masing-masing untuk 'mengobrol' secara pribadi dengannya. memang terdengar sangat aneh atau mungkin bisa disebut gila. Tapi hanya cara itulah yang mampu membuat kami merasa 'Si Tersayang' selalu ada bersama kami.

Selamanya...

Kami Merindukanmu!

Bisik kami serempak, dan saya yakin Dia juga membisikan hal yang sama untuk kami.

Saya juga merindukan kalian!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang