"Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban,"
Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?
Pelan, begitu menyentuh. Itu yang aku rasakan saat suara merdu nan lembut itu mengalun indah. Membuat hatiku bergetar dengan cara yang sangat menyenangkan.
"Gadis itu lagi," Gumamku tanpa sadar.
Kutarik kedua sudut bibirku pelan saat melihat wajah menenangkan itu masih khusuk membaca surah Ar-rahman di dalam mushola yang temeram. Sudah 4 hari ini aku selalu saja menjumpainya, bukan karena sengaja. Aku pun belum tau alasan kenapa gadis Subuh itu selalu ada pada waktu dini hari. Entah dari mana pula datangnya makhluk menyejukan ini. Yang jelas, ada perasaan penasaran kalau aku belum melihat sosoknya.
Aku mendesah pelan saat mataku tanpa sengaja melihat jam di dinding mushola. Jam 04.45. Kembali aku mendesah tidak rela. Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi untuk mendengar suara merdunya, tapi sayang aku harus segera kembali ke tempat penjagaan.
Dengan berat hati, aku berbalik arah menjauhi mushola tersebut. Melangkah gontai memasuki ruang penjagaan, "Aku bertemu dengan bidadari itu lagi, Ris." Ocehku begitu melihat sosok Haris, Dokter yang bertugas malam ini bersamaku. Laki-laki berperawakan tambun itu langsung menatapku heran.
"Apaan? Bidadari? Jam segini? Ngaco ah kamu, Dit! Tidur dulu gih sana. Supaya otakmu itu kembali normal." Jawabannya itu mampu membuatku ingin mencekik lehernya sekarang juga.
"Ck, Aku serius, Haris Setiawan!" Sahutku sebal. Kutarik kursi di depan hadapannya kemudian mendudukan tubuhku di sana.
"Oke-oke anggap aja ini serius. Terus tuh bidadari napak ke tanah nggak kakinya? Atau bolong nggak punggungnya?" Ada nada geli yang sangat jelas terdengar saat Haris mengucapkannya.
Aku mendelik jengkel, "Kamu kira Dia Sundel bolong apa? Dia pakai mukena, duduk di dalam mushola, baca Al-quran juga. Jadi nggak mungkin punggungnya bolong atau nggak napak kakinya," Jelasku berapi-api, tidak lupa kulempar botol air mineral kosong yang ada di atas meja ke arah Haris, yang sialnya langsung bisa ditepis dengan mudah.
"Oh, bermukena ya? Kalau sundel bolong nggak mungkin berani masuk mushola. Bener-bener. Eh, tapi Dia punya sayap di punggungnya nggak, Dit?"
Duh, gusti Allah yang Maha Kuasa!
Boleh tidak aku membekap Haris sampai dia kehabisan napas? Kalau boleh, pasti sudah kusumpal mulut nyinyirnya itu pakai kaos kaki!
"Ternyata mental kamu cuma kuat di tahun ke tiga aja ya, Ris? Ckckck... Nggak nyangka aku," Aku mencibirnya sinis.
Mengingat ini tahun ke tiga Dia bekerja di sini, ya kali aja Dia terseret arus para pasien kan? Atau bisa jadi Dia mulai Stress karena belum juga menemukan pasangan hidup yang sudah diidam-idamkan Ibunya.
"Maksud Kamu? Aku udah mulai nggak waras gitu?" Tanyanya sewot, tangan kanannya berhasil memukul kepalaku.
Aku mendesis kesal, "Iya, Mungkin sebentar lagi kamu jadi salah satu pasien di sini," Kataku semakin mengejek.
"Aditya Surya Pratama! Cari mati ya kamu?"
Aku terkekeh geli, bisa marah juga ini manusia. Aku kira bakatnya hanya bisa membuat orang lain kesal. Ternyata aku salah, Dia sendiri lebih sensitif daripada yang aku bayangkan.
"Nggak ah. Aku mah nyari bidadari. Eh, isteri deh," Aku nyengir lebar saat Haris mulai mencibirku sebal.
***
Hari ini aku sudah bertekad untuk mencari tau siapa sebenarnya bidadari itu. Kenapa dia bisa ada di mushola ketika pasien lain sudah tertidur lelap? Apa dia Dokter di sini juga? Atau salah satu suster? Ah, tapi kalau memang dia bagian dari Rumah Sakit ini pasti aku sudah mengenalnya. Apa mungkin dia keluarga pasien? Tapi itu hal yang paling mustahil, mengingat ini bukanlah Rumah Sakit biasa yang bisa menerima kunjungan di tengah malam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Roman d'amourTidak ada cerita yang istimewa, di sini hanya ada kumpulan-kumpulan sampah yang kadang tanpa permisi timbul di dalam otak saya begitu saja dan selalu menuntut untuk segera dikeluarkan.