Embun diantara Fajar dan Senja

1.4K 33 5
                                    

"Ada kalanya aku ingin menempatkan diri bagai Embun. Ya, seperti tetesan air di pagi hari yang datang setelah Fajar terbit, dan menghilang kala Fajar bergerak menyongsong Senja."

***

Apa yang sedang Aku lihat. Apa yang sedang Aku dengar dan apa yang sedang Aku rasakan. Segalanya, ingin aku memujamu dari kekaguman yang sangat mendasar. Kekagumanku akan pesona keindahmu. Kau tau, aku baru menyadari bahwa terpaan angin yang begitu lembut saja mampu membuatmu terlihat lebih menakjubkan. Kau terlihat sangat mempesona. Ingin aku desahkan Namamu di dalam setiap hembusan napasku. Aku ingin memuji ciptaan-NYA yang begitu sempurna di mataku. Kau. Kau adalah salah satu bukti akan ke Agungan-NYA. Sungguh, entah bagaimana Caranya Tuhan menciptakan dirimu...

"Kau?" Suara berat itu membuyarkan segala daya khayal yang sedang asik menari di dalam benak,

Kuhentikan gerakan tanganku yang sejak tadi tengah menulis di atas sebuah buku kecil yang terbuka di atas pangkuanku. Hanya untuk mendongakkan kepala, melihat siapa pengacau kesenanganku beberapa detik lalu, dan senyum tipis menggurat di wajah pengacau itu saat mata kami saling bertemu di titik tengah garis lurus. Matanya menatapku tanpa berkedip beberapa detik, untuk kemudian tatapannya beralih ke buku yang masih terbuka di pangkuanku.

Aku menghela napas sejenak sebelum membalas senyum seadanya. "Apa itu memang hobimu? menjadi tukang intip?" Tanyaku datar sambil munutup dengan cepat buku catatan yang masih ada di pangkuan.

Dia terkekeh pelan sebelum mengambil tempat duduk tidak jauh di sampingku, "Aku tidak mengintip tulisanmu. Aku hanya membaca tulisan di atas pasir itu," Mataku secara otomatis mengikuti arah jari telunjuknya yang menunjuk sesuatu di dekat kakiku.

Mataku membelalak kaget saat mendapati goresan kasar bertuliskan kata 'Kau' di atas pasir. Refleks, aku menutup tulisan tersebut menggunakan telapak kaki kananku yang telanjang -Karena alas kakiku sudah beralih fungsi sebagai alas duduk- Kutundukkan wajahku dalam, merasa malu karena telah ketahuan malakukan sebuah kebodohan.

"Aku baru tau kalau Kamu suka menulis." Ujar pengacau itu acuh.

Kulirik sosok itu dari sudut mata, tepat saat dia melemparkan pandangannya kehamparan laut lepas yang ada di hadapan. Aku tersenyum kecut, "Bukan suka menulis. Tapi hanya hobi berkhayal," Jawabku asal sambil kembali menundukkan wajah.

Ada rasa sesak menyelusup di antara debaran menggila di dalam dada. Entah apa, dan mengapa. Hati kecilku selalu meneriakkan bahwa ini hal yang salah.

Kueratkan ke dua tanganku untuk memeluk lutut. Deburan ombak kembali membawa hembusan angin yang cukup kencang, menyapa diri dengan lembut. Tidak ada percakapan lagi di antara kami. Pikiranku sibuk mengudara bersama terpaan angin yang juga menerbangkan ujung jilbab yg kubiarkan terjulur menutupi punggung sampai hampir menyentuh pinggang. Kugerkan jari kakiku dengan gelisah, berniat menghapus jejak goresan di atas pasir -Hasil karya tangan cerobohku- yang masih kututupi dengan telapak kaki. Aku merasa jengah dengan keadaan ini. Keadaan yang selalu ingin aku hindari.

"Apa bedanya?" Gumamnya pelan setelah ada jeda cukup lama di antara kami.

Aku menoleh ke arahnya, kedua alisku tertaut erat, menerbitkan senyum kecil di bibir tipisnya saat mata kami kembali bertemu.

"Dari hobi berkhayal, kamu bisa menghasilkan tulisan bukan?" Pertanyaan yang tidak menyenangkan keluar dari lisannya. Aku mendengus sebal saat senyum kecilnya berubah menjadi seringaian mengejek.

"Bukan urusanmu." Jawabku acuh.

Aku benci saat ada orang lain yang mengusik kesenangan dan ketenanganku. Aku memang tidak terlalu menyukai keramaian. Hey, Jangankan keramaian, satu orang saja seperti pengacau ini batinku sudah merasa terganggu.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang