Matahari belum juga terbit, suara kumandang adzan subuh baru saja terdengar, namun Gita sudah siap dengan seragamnya, hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini. Bukannya ia berubah untuk rajin datang ke sekolah, hanya saja ia ingin menghindari Alfa, berangkat lebih pagi merupakan satu-satunya cara agar ia tidak datang ke sekolah bersama.
Jam setengah 6 pagi Gita keluar dari kamarnya, sedikit berharap dapat menyantap sarapan dengan orangtuanya, selama ini ia selalu ketinggalan moment sarapan bersama karena selalu bangun siang. Dan nyatanya, bangun pagi pun tidak merubah fakta apapun, harapan tinggalah harapan yang seharusnya tidak usah memakai perasaan, harapan hanya sebuah momok menakutkan untuk seorang Gita, seringkali harapan menghempaskannya hingga terluka. Lihat sekarang, meja makan hanya tersaji berbagai hidangan tanpa ada satupun orang yang berniat mencicipinya.
"Gue temenin sarapan, mau?"
Gita terlonjak dari lamunannya, andai ia punya riwayat penyakit jantung, maka Alfa adalah orang pertama yang akan ia gentayangi setiap malamnya. Apa cowok itu tidak ada kerjaan sampai sepagi ini sudah berada di rumahnya?
"Ngga, berangkat aja yuk!"
Satu alis Alfa terangkat mendengar ajakan Gita, "Bukannya lo bangun pagi buat ngehindarin gue?"
"Berubah pikiran," jawab Gita cuek, "Motor lo taro rumah gue aja, kita naik mobil." Titah Gita seperti seorang ratu, ia sepertinya lupa sedang berhadapan dengan siapa. Meskipun di kandang orang lain, Alfa tetaplah Alfa yang tidak bisa diperintah oleh siapa-siapa. "Gue ngga naik mobil,"
"Yaudah gue yang bawa!" Gita mulai kehabisan stok kesabarannya, moodnya sudah tercecer akibat ketidakberadaan orang tuanya, haruskah cowok itu menambah kekesalannya? "Atau gue bisa suruh Gilang atau Kiwi buat jemput gue,"
Alfa berdecak pelan, menatap lawan bicaranya dengan sorot tidak menyenangkan, "Lo terbiasa ngga menghargai orang, hmm?" sengaja ia melihat Gita dari atas ke bawah seolah menilai, "Disiapin sarapan ngga dimakan, dijemput ngga tau terima kasih, ratu banget hidup lo?"
Bibir tipis Gita terkatup rapat, cowok itu selalu punya stok kosakata yang bisa membuatnya menjadi seorang pendosa. "Tau apa lo tentang gue?" tanya Gita dengan nada menantang.
"Cengeng, sok jagoan, ngga bisa ngehargain orang," jawab Alfa santai seraya menarik kursi makan, lalu menghempaskan diri di atasnya. Kedua tangannya terlipat, pandangan matanya tidak lepas menatap Gita seperti sutradara yang sedang mengomentari calon pemainnya. "Ada yang kurang?"
"Anjir banget lo, jangan mentang-mentang lo anaknya temen bokap gue terus gue bakal takut gitu? Elaaah, baru kenal gue beberapa hari aja gayanya udah selangit!"
"Kalo omongan gue ngga bener, kenapa harus marah?"
Sial, sial, sial!!! Ingin rasanya Gita menyembunyikan wajahnya dibalik tumpukkan roti yang disediakan bibi. Jangankan hanya ucapan, siapapun yang ditatap Alfa saat ini pasti emosinya memuncak, cowok itu memang terlahir sebagai penindas.
"Lo tuh sesekali perlu ditatar biar sadar," lanjut Alfa seraya mengambil satu tangkup roti bakar, mengunyah dengan lahap tanpa memperdulikan tampang Gita yang siap mencincangnya menjadi salad.
"Gitu? Lo tuh cuma bisa ngebacot," telunjuk Gita sudah mengarah ke wajah Alfa, "Mana pernah lo ngerasain kayak gue yang tiap pulang ke rumah ngga ada orang, mana pernah lo ngerasain kayak gue yang ditanyain kapan pulang sama pembantu bukan sama ortu, ohh apa pernah lo mergokin pacar lo lagi mesum sama orang lain?"
"Kalo ngomong mulut sama ini dipake," Gita mengetuk pelipisnya sendiri, "Oke, anggap soal Dirga gue lebay, iya gue aja yang bego mau aja sama cowok bangke macam dia, yang masih nangisin dia padahal dia lagi enak-enakkan sama cewek lain. Tapi soal orangtua gue? Apa iya gue juga yang bego? Lo pikir enak tiap kesel ditahan? Tiap mumet kerjaannya nyari masalah? Gue ngga budeg kok, bener yang mereka bilang di sekolah kalo gue cari perhatian, ya terus kenapa? Gue nyari perhatian juga ngga diperhatiin kok sama bonyok gue,"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift From God
Teen FictionKadang tidak habis pikir, kenapa orang-orang di Jakarta rela pergi pagi pulang pagi agar bisa membeli rumah di kawasan elite namun pada akhirnya tidak ditempati. Namun ada lagi yang lebih membingungkan, sepasang suami-istri yang katanya atas dasar c...