Meskipun matahari bersinar dengan terik, tidak menyurutkan dua team yang sedang bertanding di lapangan yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Zahra, kadang mereka harus menyipitkan mata untuk membobol gawang lawannya. Ekor mata Gita tidak lepas mengikuti kemana larinya Alfa sejak pertama kali pluit dibunyikan, bahkan beberapa kali ia keceplosan mengatai cowok itu bodoh karena tidak berhasil mencetak gol, di sampingnya Zahra hanya bisa terkikik.
"Kak, boleh minta tolong?" Zahra mengintrupsi keseruan Gita, mengetuk alat lukisnya dengan tidak enak hati. Biasanya sebelum ke tengah lapangan, Alfa yang selalu membantunya mempersiapkan semuanya.
Gita memalingkan wajah kearah Zahra, memasang senyum tulus meskipun ia tau gadis kecil itu tidak dapat melihatnya. "Boleh," ia mengambil alih cat air dan tempatnya dari tangan Zahra, menuangkan beberapa warna ke wadah dan mencampurnya dengan sedikit air dari botol air mineral yang sengaja Gita bawa. "Kok kamu bisa kenal Alfa?" Tanya Gita seraya menyerahkan wadah ke tangan kiri Zahra dengan hati-hati.
"Entah, kayaknya Tuhan sengaja kirim kak Alfa buat aku. Seminggu setelah koma, aku akhirnya kenal kak Alfa."
Kuas di tangan Zahra sudah diceplukan kedalam cat air, meskipun tidak melihat, tangannya dengan lihai menggoretkan cat ke atas buku gambar, membuat Gita tidak kuasa menahan ekspresi kagum di wajahnya. "Boleh tanya lagi?"
Kepala Zahra mengangguk, ia paham cewek yang duduk di sampingnya sedang penasaran sekarang. "Jadi kamu ngga buta dari lahir? Penyebabnya?"
Zahra menghela nafas dari mulutnya, otaknya harus mengingat kembali kejadian yang ingin dilupakan seumur hidupnya, kejadian yang membuatnya harus menggunakan kursi roda dan tidak bisa menggunakan mata. "Kalo ngga mau jawab, ngga apa-apa kok," tangan Gita terulur untuk mengusap lengan Zahra.
"Kecelakaan kak," gadis kecil yang seharusnya kelas 5 SD itu menjawab dengan muka muram, tangannya tidak lagi digunakan untuk melukis. "Satu tahun yang lalu, ditabrak mobil pas aku mau beli alat lukis."
Mulut Gita hendak bertanya lagi, namun buru-buru ia katupkan kembali saat melihat ekspresi Zahra yang terlihat tertekan jika harus menceritakan secara detail. Cewek itu menatap Zahra dalam, kali ini bukan dengan sorot iba melainkan sorot kekaguman yang luar biasa, bagaimana gadis sekecil Zahra bisa tabah menghadapi ini semua, sedangkan ia terus menggurutu kepada sang pencipta karena selalu ditinggal oleh orang-orang tercinta.
Dikhianati Dirga saja, Gita sudah seperti kehilangan dunia, lalu apa kabarnya Zahra yang tidak bisa melihat alam semesta? Tidak mendapat perhatian dari orang tua, ia selalu membuat ulah, bersikap seolah makhluk ciptaan Tuhan yang paling menderita, sedangkan Zahra yang harus merelakan satu kakinya tetap bisa tabah meskipun usianya jauh lebih muda darinya.
Gita membuang pandangannya ke depan, tepat saat airmatanya turun, Alfa menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Kepala Gita menunduk, ia menyesali kebodohannya yang selalu menangis di dekat Alfa.
@@@
"Main yang bener woy!"
Sudah berapa kali Alfa diperingatkan seperti tadi? Cowok itu bahkan tidak dapat mengitung dengan pasti. Sejak pandangannya menangkap raut sedih Gita dan Zahra dari kejauahan, konsentrasinya hilang tak berjejak, berapa kali bolanya diambil lawan dengan mudah, dan berapa kali juga ia tersungkur ke tanah akibat tersandung kaki lawan.
Bunyi pluit tanda babak pertama berakhir membuat Alfa dapat bernafas lega, ia berlari kecil menuju pinggir lapangan untuk menghampiri dua perempuan yang sedang menunggunya. Sampai di tengah perjalanan jatungnya berdebar tidak sopan, cowok itu takut Gita bertanya yang tidak-tidak pada Zahra, atau gadis kecil itu yang justru bercerita banyak hal pada Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift From God
Novela JuvenilKadang tidak habis pikir, kenapa orang-orang di Jakarta rela pergi pagi pulang pagi agar bisa membeli rumah di kawasan elite namun pada akhirnya tidak ditempati. Namun ada lagi yang lebih membingungkan, sepasang suami-istri yang katanya atas dasar c...