Warning! Typo everywhere :p
Tepat lima anak tangga lagi sebelum akhirnya sampai ke lantai tiga, Gita menghentikan langkahnya. Bukan karena lelah, tapi kakinya mendadak seperti jelly yang tidak bisa digerakan kemana-mana. Satu tangannya terangkat untuk memegang dada, seolah dengan begitu dia bisa menghentikan degup jantungnya yang berdetak tidak normal. Kenapa perasaannya begitu tidak karuan?
Dua anak tangga lagi dan Gita kembali menghentikan langkahnya, tekadnya yang sebulat lingkaran mendadak terbelah dua. Masih ada waktu untuk dirinya mundur, toh nanti dirinya bisa memasang senyum palsu seolah tidak mengetahui apapun. Bukankah itu keahlian Gita? Tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Suara rintik hujan menambah kegelisahan Gita, jika yang dihadapinya nanti akan membuat luka, akankah airmatanya sebanyak tetesan hujan yang menimpa kota Jakarta? Gita menghembuskan nafas panjang melalui bibir tipisnya, jika menggenggam hanya bisa melukai, ini saatnya dia melepaskan diri.
Satu pesan kembali masuk ke ponsel Gita.
Jangan kebanyakan mikir!
Refleks Gita memutar kepalanya, menelanjangi setiap sudut yang terjamah oleh indera penglihatannya. Hasil nihil, tidak ada siapapun di posisinya kini.
Dreett, dreettt.
Lagi, ponsel Gita bergetar, kali ini bukan sebuah pesan melainkan panggilan masuk dari Gilang.
"Lo dimana?" nafas Gilang yang terengah-engah terdengar jelas di telinga Gita.
"Di sekolah,"
"Gue jemput ya, tadi kata Alfa lo ngga mau bareng dia. Padahal gue suruh dia paksa lo supaya pulang bareng."
"Gue di jemput bokap kok, katanya tadi udah deket" Gita dengan lancarnya berdusta, berbanding terbalik dengan langkahnya yang tersendat menuju lantai tiga.
"Bener?" Ada nada tidak percaya di dalamnya.
Tidak ada jawaban, tangan Gita yang bebas sibuk membuka setiap pintu kelas yang berada di lantai tiga dengan nafas tertahan.
"Git? Jangan sampe gue nyuruh Alfa narik lo naik motornya ya!"
Sungguh, Gita butuh udara sekarang, suara Gilang yang kian panik di sebrang sana tidak lagi dihiraukannya. Dadanya sesak, satu-satunya yang menandakan cewek itu masih hidup hanya suara gemeletuk giginya.
"Are you okay?"
Terlambat, Gita tidak baik-baik saja sekarang. Pemandangan yang terpampang di depannya sungguh menjijikan, membuatnya ingin muntah, hanya saja Gita tidak akan mengeluarkan isi perutnya melainkan isi hatinya. Yang dilakukan Dirga sekarang memang jika dilihat secara kasat mata tidak ada salahnya, dia hanya mengobrol dengan jarak amat sangat dekat dengan seorang cewek yang entah siapa namanya. Ya, andai hanya seperti itu Gita tidak akan mempermasalahkannya, dia tidak pernah membatasi ruang lingkup pertemanan pacarnya, yang dia permasalahkan kenapa tangan Dirga menyusup kedalam kemeja cewek itu sehingga menimbulkan suara desahan yang tidak pantas untuk di dengar.
Tok. Tok. Tok.
Dengan sisa kekuatannya, Gita memberanikan diri mengetuk pintu untuk menyadarkan Dirga tentang eksistensinya. Menerbitkan satu senyuman saat Dirga menoleh kearahnya, meskipun matanya memancarkan kemarahan bercampur kekecewaan. Segala umpatan yang sudah Gita siapkan menguap begitu saja bersama angin yang berhembus semakin kencang, jangankan mengumpat, menarik sudut bibirnya membentuk senyuman saja rasanya seperti kiamat.
"A-aaku b-bbisa jelasin," Dirga buru-buru bangkit dari duduknya seraya berjalan mendekat kearah Gita.
Gita menggeleng pelan, selangkah demi selangkah mundur menjauhi Dirga yang semakin mendekat. Saat Dirga melangkahkan kakinya satu kali ke depan, satu langkah juga Gita melangkahkan kakinya ke belakang. Beluam ada airmata yang tumpah, cewek itu menatap Dirga seolah menegaskan dirinya baik-baik saja. Senyumnya tetap mengembang meskipun dengan nafas tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift From God
Teen FictionKadang tidak habis pikir, kenapa orang-orang di Jakarta rela pergi pagi pulang pagi agar bisa membeli rumah di kawasan elite namun pada akhirnya tidak ditempati. Namun ada lagi yang lebih membingungkan, sepasang suami-istri yang katanya atas dasar c...