Berkali-kali nulis part ini saya pusing sendiri, mendadak ngeblank karena cerita ini banting stir dari cerita sebelumnya. Happy reading, semoga cerita ini cepat-cepat menemukan titik ending :')
Btw, Happy New Year ^^
Lama Gita menatap kotak berwarna putih yang kini ada di pangkuannya. Kesepuluh jarinya mendadak kaku, banyak pertimbangan kenapa ia tidak langsung membuka dan melihat isinya. Sebenarnya bukan masalah Alfa akan marah, ia hanya takut ketika kotak ini terbuka maka hatinya akan ikut terluka.
"Buka aja,"
Gita terlonjak dari tempatnya, ia menoleh ke pintu kamar namun tidak ada siapa-siapa. Mungkinkah ia berhalusinasi? Ia menggelengkan kepalanya, lalu kepala beputar ke sebelah kanannya, sepertinya ia melupakan fakta keberadaan kamar mandi yang berada di dalam kamar Alfa. Dan benar saja, cowok itu sedang berdiri dengan handuk kecil yang mengalung di lehernya sambil menatap Gita dengan emosi yang tidak terbaca.
"Mau gue bukain?" Tawar Alfa seraya berjalan mendekati Gita, lalu dengan santainya cowok itu duduk bersila di hadapan Gita dan mengambil kotak tersebut dari pangkuan Gita. Alfa hampir saja menyemburkan tawanya saat melihat Gita menggeser posisi duduknya, sepertinya cewek itu paham akan kesalahannya.
"Tenang, ini isinya bukan bom kok," Goda Alfa saat melihat muka Gita yang menegang.
Gita berdehem pelan untuk menghilangkan rasa gugupnya, mulutnya ingin sekali membalas ucapan Alfa, namun seperti ada mengganjal di tenggorokan Gita sehingga ia kehilangan keberanian untuk mengeluarkan suara.
Tanpa menunggu persetujuan dari Gita, Alfa langsung membuka kotak itu dan menujukkan isinya pada cewek yang duduk di hadapannya. Ada puluhan atau ratusan tiket bioskop yang hampir memudar karena terlalu lama di simpan, ada jam tangan berwarna hitam yang Gita tau harganya sangat mahal, dan ada beberapa benda couple di dalam kotak tersebut. "Dulu, kerjaan gua sama Clara tiap pulang sekolah tuh nonton di bioskop," cerita Alfa tanpa diminta sambil mengeluarkan tiket bioskop dari dalam kotak, "Clara suka banget nonton, sedangkan gue selalu ketiduran setiap kita nonton."
"Al," panggil Gita pelan, ia berharap Alfa tidak meneruskan ceritanya. Dari sorot mata Alfa, Gita tau cowok itu terlalu sakit untuk membuka luka lama.
"Lucunya, Clara ngga pernah marah tiap gue ketiduran. Dia selalu nepuk pipi gue pelan buat bangunin gue, terus nungguin gue bener-bener sadar baru kita keluar dari studio."
Alfa menaruh tiket tersebut di lantai, lalu menarik selembar foto ukuran 4x6 yang terselip di dalam kotak. Ada sosok Clara menggunakan seragam merah-putih dan tersenyum kearah kamera. Gita mengerdil saat menyadari betapa cantiknya Clara dibandingkan dirinya. "Gue kenal Clara dari SD," Alfa menatap Gita sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "Ngga kayak di drama Git, gue bukan anak cupu waktu SD yang ngga punya temen, dan Clara juga bukan temen pertama gue di SD."
Gita mengusap tengkuknya, merasa tidak enak karena drama dalam kepalanya terbaca oleh Alfa. "Cantik," Puji Gita tulus sambil menunjuk foto Clara.
Kepala Alfa mengangguk sebagai tanda setuju. "Gue pikir awalnya cuma cinta monyet, tapi waktu masuk SMP gue maksa ortu gue buat masukin gue di sekolah yang sama kayak Clara. Gue bahkan masih inget Git gimana senengnya gue waktu bisa sebangku sama dia di SMP."
Mulut Gita terkatup rapat, ia menyesali ucapannya dulu yang sempat menuduh Alfa hanya tidak benar-benar sayang pada Clara. Nyatanya Gita salah, mungkin karena terlalu sayang sehingga Alfa begitu terluka karena dikhianati Clara.
"Iya guenya seneng, Claranya ngga," Alfa menundukkan kepalanya, suaranya tidak lagi sesantai sebelumnya. "Gue... Gue terlalu buta sama rasa suka gue sampe ngga peduli kalo..."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gift From God
Teen FictionKadang tidak habis pikir, kenapa orang-orang di Jakarta rela pergi pagi pulang pagi agar bisa membeli rumah di kawasan elite namun pada akhirnya tidak ditempati. Namun ada lagi yang lebih membingungkan, sepasang suami-istri yang katanya atas dasar c...