40 Hari kemudian...
Malam hari setelah rumah relatif sepi dan yang ada hanya kerabat Bella dan Arina. Hermina, kakak tertua papa tiri Bella masuk ke kamar Bella.
"Budhe..." Bella yang tengah berbaring langsung duduk.
Hermina menutup pintu perlahan dan duduk di dekat Bella.
Bella memandang waspada melihat raut wajah Hermina yang serius."Bel, sebelumnya Budhe minta maaf ya." Kata Hermina sambil meraih kedua tangan Bella. "Tapi Budhe harus ngomong. Kamu tau kan kalo Arina masih SMA kelas satu? Lha, kamu sudah lulus sekolah."
Bella mengangguk. "Iya, Budhe."
"Rencana kamu apa? Nggak kuliah kan?"
Bella menggeleng. "Uang darimana, Budhe? Aku mau ngelamar kerja. Ya...mungkin nanti kalo ada rejeki lebih, bisa nabung, baru kuliah."
Hermina mengangguk lega tapi wajahnya masih serius. "Yo wis, bagus kalo begitu. Gini lho, uang pensiun Hermawan biar buat Arina sekolah aja. Kasihan kan kalo sampai putus sekolah. Rumah ini juga sertifikatnya atas nama Hermawan. Kalo terpaksa, keluarga besar sudah sepakat untuk menjualnya. Uangnya nanti untuk membiayai Arina sendiri. Ya, kamu tau kan kami semua nggak ada yang kelebihan. Pas - pasan."
Sekujur tubuh Bella dingin seketika. Shock. Tapi ia hanya bisa diam saja.
"Nah, rencananya...Kami mohon maaf ya, kalo kamu sudah diterima kerja, kamu kos aja daripada sendirian."
"A-arina?"
"Mulai besok tinggal sama Budhe. Budhe agak cemas kalo cuma tinggal berdua kamu. Anak perempuan semuanya. Masih muda juga. Arina sudah setuju apalagi sekolahnya kan lebih dekat dari rumah Budhe. Jalan kaki cuma sepuluh menit."
Iya sih, tapi kok...batin Bella kaku.
"Jadi nggak apa - apa ya kamu tinggal sendiri. Kasihan Arina. Kamu kan sebentar lagi juga kos."
"Iya, Budhe." Hanya itu yang mampu diucapkan oleh Bella.
Hermina menepuk - nepuk tangan Bella lalu berdiri sambil mengangguk puas dan meninggalkan kamar Bella.Sementara itu Bella langsung gemetar seketika sepeninggal Hermina.
"Ya Tuhan..." ia merasa nelangsa hingga tanpa terasa air matanya keluar.
Malam itu ia tidak dapat tidur.
Esok harinya satu persatu kerabat yang menginap pulang. Rumah terasa sepi dan sunyi. Arina juga sudah berangkat sekolah dengan enggan. Bukan karena masih berduka, tetapi lebih karena ia harus akan berpisah dengan Bella. Awalnya ia keberatan dan tak mau meninggalkan Bella sendirian. Karena terus - terusan dibujuk Budhenya dan kerabat yang lain, ia kalah suara dan terpaksa setuju. Apalagi argument mereka masuk akal dan ia tak kuasa menolaknya.
Bella tidak bisa marah apalagi melarang dan membujuk Arina. Ia malah mendorong adiknya itu dan membenarkan alasan budhenya agar adiknya tidak mencemaskan dirinya dan bisa tinggal dengan budhenya tanpa beban.
Bella duduk di ruang tengah dengan pandangan menerawang. Terasa getir memikirkan nasibnya. Besok rumah benar - benar akan sepi kalau Arina jadi tinggal di rumah budhenya. Katanya nanti sore akan datang lagi untuk menjemput Arina.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi Vivia, sahabatnya."Hai, Vi, sorry ganggu."
"Hai, Bel. Enggak kok. Lagi santai aja. Ada apa?" balas suara ceria di seberang.
"Lho, gak kuliah?"
"Kuliah? Sekarang kan hari sabtu. Libur lah."
"Oh iyaya...aku lupa."

KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA BUAT BELLA
General Fiction(SUDAH TERBIT Di Playstore/Playbook) Ketika BELLA ROSA THAMRIN harus kehilangan mama dan rumahnya, ternyata masih ada yang sayang padanya. Edwina, sahabat mamanya langsung mengajaknya tinggal bersama. Tapi karena Edwina harus ikut suaminya tugas ke...