Permohonan Tak Terduga

5.3K 291 16
                                    

Sudah hampir dua minggu semenjak terjadinya pertemuan keluarga itu. Tapi tak ada satupun dari Rion ataupun Raisa yang berinisiatif untuk membicarakan perjodohan itu lebih lanjut. Bagi Raisa perjodohan itu sama sekali tidak ada artinya. Sedangkan bagi Rion, egonya terlalu tinggi untuk mengajak Raisa bicara terlebih dahulu. Walaupun setiap hari ia sakit kepala karena sang ibu selalu mendesaknya untuk melamar gadis itu, tapi Rion tidak mau kalah. Dalam kamusnya tidak ada kata mengalah.

"Sampai kapan sih kamu mau kayak gini terus? Bunda ini sudah tua. Bunda cuma ingin dapet cucu dari kamu sebelum Bunda meninggal. Apa itu salah?" untuk kesekian kalinya Fatma menggerutu seperti itu. Melihat wajah anaknya yang selalu datar tanpa ekspresi kadang selalu membuatnya tambah naik pitam. Ia heran kenapa putra kesayangannya itu bisa berubah seperti ini.

"Apa kamu mau lihat Bunda mati dulu baru kamu nikah?" tantang Fatma sedikit emosi.

Rion mendesah pelan. "Kenapa Bunda selalu ngomong gitu? Bukannya kita sudah punya kesepakatan? Bunda gak akan pernah paksa aku lagi. Kenapa sekarang tiba-tiba berubah?"

"Karena waktu Bunda udah gak lama lagi, dan Bunda yakin Raisa pilihan terbaik untuk kamu."

"Karena Bunda ingin mengusahakan yang terbaik untuk kamu," jawab ibunya setengah berdusta.

"Dia gak punya perasaan apa-apa sama Rion, Bun. Harusnya Bunda bisa lihat itu," timpal Rion sedikit emosi. Entah kenapa ada sedikit rasa sakit di hatinya setiap kali membayangkan wajah Raisa yang selalu dingin padanya. Untuk pertama kalinya gadis itulah yang secara terang-terangan tak tertarik padanya, selalu mengabaikannya, dan masa bodoh dengan segala urusannya.

"Kamu usaha dong nak, buat Raisa suka sama kamu. Cinta itu harus diperjuangkan!"

Rion mendengus geli, "Emang siapa yang jatuh cinta Bun?"

"Udah ah Bunda males ngomong sama kamu!" dengan kesal Fatma beranjak pergi menuju kamarnya. Tanpa sepengetahuan Rion wanita paruh baya itu memegang dada kirinya erat-erat sambil berusaha mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja tersendat. Tidak! Ia harus kuat sampai anaknya itu menikah.

xxxxxxx

Langit sudah hampir gelap dan jalan raya semakin macet dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang, ditambah gerimis yang turun lengkaplah sudah penderitaan Raisa hari itu. Dan saat laju angkutan umum yang sedang ditumpanginya akhirnya bisa bergerak, akhirnya ia bisa bernafas lega. Tapi baru berselang lima menit, angkutan umum itu terhenti kembal. Kali ini bukan diakibatkan macet melainkan mogok, entah karena apa.

"Duh maaf ya Mas, Mbak, mobilnya mogok. Jadi silahkan cari angkutan umum lain ya...." ujar supir angkutan umum tersebut sedikit tak enak hati dengan para penumpangnya. Tapi apa boleh buat, ini juga bukan kehendaknya. Salahkan saja mobilnya yang sudah berumur tua itu.

Akhirnya mau tak mau semua penumpang pun turun bergegas mencari angkutan umum lain yang bisa mereka naiki. Raisa mendesah pelan, mengapa sepertinya nasib buruk selalu membayanginya. Ia hanya ingin cepat pulang ke rumah tapi kenapa sepertinya banyak sekali rintangan yang harus dilaluinya.

Lima menit berselang, semua angkutan umum yang lewat sudah terisi penuh. Tak ada lagi celah kosong yang bisa ia tempati. Sedang beberapa orang yang tadi menunggu bersamanya sudah terlebih dulu pulang karena dijemput keluarga ataupun mendapat tumpangan dari seorang teman yang tak sengaja lewat. Beberapa kali ia mencoba menelpon Randi, tapi nomor adiknya itu tidak aktif. Hingga tepat di menit ke sepuluh ia menunggu, tiba-tiba saja sebuah Mercedes Benz hitam tepat berhenti di depannya. Sebuah senyum hangat dan ramah muncul ketika kaca di pintu penumpang belakang terbuka.

"Tante...." ujar Raisa pelan, tak menyangka ia akan bertemu ibu dari bossnya itu disaat moodnya sedang buruk seperti ini.

Fatma tersenyum hangat seperti biasa. "Kebetulan sekali Tante ketemu kamu disini. Kamu mau pulang Raisa?"

Mr. Playboy & Ms. CalmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang