Langkah Awal Rion

5.3K 293 16
                                    

"Pernikahan itu gak harus berlandaskan cinta, yang terpenting itu adanya komitmen, tanggung jawab, dan kepercayaan satu sama lain. Dan Mama yakin Rion punya semua itu."

"Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu."

Raisa masih termenung di kamarnya, menatap bulir-bulir hujan yang berjatuhan. Pikirannya berkecamuk, semua perkataan ibunya terus terngiang di telinganya. Haruskah ia menikah? Lagi-lagi itu yang ditanyakannya. Tidak! Itu yang selalu dikatakan hatinya. Bukannya tidak mau, tapi ia tidak bisa. Tidak dengan orang yang jelas-jelas dari awal selalu memandang rendah dirinya, meremehkannya, mempermainkan hati banyak wanita, terlebih lagi ia tidak mencintainya. Satu-satunya lelaki yang ia cintai tidak mungkin lagi untuk bisa ia miliki. Karena Tuhan lebih sayang padanya dan Tuhan lebih memilih untuk menempatkan dirinya di sisi-Nya dibandingkan di sisi gadis rapuh tak berdaya seperti dirinya saat ini.

Tok Tok Tok

"Teh.... makan dulu yuk...." teriak Randi dari balik pintu. Tapi Raisa tak peduli. Lagi-lagi ia meningkatkan volume suara pada handphonenya, menyebabkan alunan melodi yang mengalir melalui headset yang dikenakannya mengalun semakin kencang. Ia tidak butuh makan, satu-satunya yang ia butuhkan adalah ketenangan. Satu langkah saja ia keluar dari kamarnya maka ia yakin ibunya akan terus menceramahinya.

Randi menghela nafas pelan. Ini sudah ketiga kalinya ia mengajak kakak perempuannya itu untuk makan. Tapi kakaknya itu hanya berdiam diri di kamar, sekedar untuk menyahut ajakannya pun tidak. Padahal sejak pulang kerja kemarin kakaknya itu belum makan apa-apa. Akhirnya setelah lima menit menunggu, Randi memutuskan untuk pergi.

"Masih belum mau keluar kamar?" tanya ibunya ketika Randi datang dan duduk di salah satu kursi di meja makan.

Randi menggeleng pelan lalu tangannya tergerak untuk mengisi gelas kosong di hadapannya dengan air putih. "Kenapa sih Mama harus maksa Teteh buat nikah?" tanyanya agak sebal setelah menghabiskan segelas air putih sekali teguk.

"Kalau gak dipaksa, Teteh kamu itu gak akan pernah nikah," jawab ibunya santai berusaha tak terpancing emosi anak lelakinya tersebut.

"Hah...." Randi menghela nafas pelan. "Ma.... jodoh, rezeki, dan maut itu semua di tangan Tuhan. Randi yakin tanpa Mama paksa suatu hari nanti Teteh pasti ketemu sama jodohnya dan Teteh pasti menikah."

"Nanti itu kapan Randi? Jodoh itu gak akan datang dengan sendirinya tanpa ada usaha dari kita. Dan sekarang ini Mama sedang mengusahakan yang terbaik untuk Teteh kamu itu."

"Tapi gak gini caranya Ma...." ada jeda lima detik sebelum Randi meneruskan perkataannya. "Mama tahu kan gak mudah bagi Teteh untuk mencintai seseorang. Grey aja butuh waktu yang gak sedikit buat masuk ke dalam hati Teteh."

Ratih menundukkan kepalanya sedih saat mendengar penuturan putranya itu. Sebagai seorang ibu tentu ia tahu apa yang terjadi pada putri sulungnya itu. Karena  kondisi psikis seorang anak tidak pernah lepas dari campur tangan orang tuanya. Semua tidak serta merta terjadi begitu saja.

"Mama hanya ingin Teteh kamu tahu bahwa gak semua lelaki itu sama seperti Papa kalian. Masih ada lelaki baik diluar sana yang menghargai keberadaan seorang wanita. Contohnya kamu, kamu gak mungkin meniru sikap Papa kamu kan?"

Randi tersenyum simpul. Diraihnya jemari ibunya dan digenggamnya erat. "Randi akan berusaha untuk menjadi anak yang Mama banggakan dan selalu menjadi pelindung untuk Mama, Teteh, dan Rania. Randi gak mungkin meniru sifat Papa karena Randi tahu seperti apa sakit yang dirasakan Mama dan Teteh. Tapi....." lagi-lagi Randi terdiam sambil memperhatikan ekpresi wajah ibunya, berharap apa yang akan ia katakan selanjutnya bisa lebih dimengerti oleh ibunya itu. "Untuk saat ini Mama coba mengerti bahwa gak semua laki-laki sama seperti Grey. Setidaknya itu yang ada dipikiran Teteh. Jadi jangan paksa Teteh lagi."

Mr. Playboy & Ms. CalmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang