Part #11. Kerikil

32.9K 2.3K 45
                                    

Airi terlihat gugup, dia menarik tangannya. "Ngg, ini nggak seperti yang Kak Aqsal pikirkan," dalam hati Airi merutuki susunan kalimatnya yang terdengar aneh di telinganya sendiri. Kesannya itu kayak Airi ke-gap selingkuh. Tapi tunggu... kenapa malah ngelak? Bukannya Airi niat mau bikin Aqsal cemburu? "aku sama Kak Carter nggak ada apa-apa kok." Ngeliat Aqsal yang biasa aja gitu mendadak bikin Airi panik.

Aqsal mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa-apa juga nggak papa," timpal Aqsal santai. Jantung Airi seperti ditikam, mendadak sakit. Dadanya nyeri.

"Ya, nggak bisa gitu dong! Kak Aqsal gimana sih? Kan aku udah bilang sukanya sama Kakak!" Airi berteriak marah, matanya berkaca-kaca. Aqsal kali ini sangat menyebalkan.

Pada akhirnya, Airi tidak bisa jual mahal juga. Karena ia mengungkapkan perasaannya untuk yang kesekian kalinya pada Aqsal.

"Kak Aqsal toge banget tahu nggak! Rasanya aku sampe pengen bawa pulang. Terus aku campur tepung sama wortel! Kak Aqsal aku goreng! Aku jadiin bakwan! Huaaa!" Airi berteriak sambil menuding wajah Aqsal dengan jari telunjuknya. Pipi cewek itu sudah sepenuhnya basah karena air mata. Airi meluapkan semua kesedihan dan kekecewaannya pada Aqsal, tidak peduli ada Carter di sini.

"Airi," Aqsal yang terlalu terkejut akan respon Airi atas perkataannya tadi tampak gelagapan. "aku... aku nggak maksud-"

"Kak Aqsal peka dong Kak!! Aku udah berjuang keraaaas banget, melebihi kerasnya batu karang di lautan. Tapi kenapa Kak Aqsal malah gitu!! Ra... rasanya sakit tahu nggak, Kak. Kak Aqsal nggak bisa ya ngehargain sedikit aja perjuangan aku. Waktu itu Kakak minta aku berhenti bersikap aneh. Aku... aku udah nggak aneh-aneh lagi sama Kakak," Airi berbicara dengan tersendat-sendat. Dadanya sesak, penglihatannya sudah sangat buram meskipun berkali-kali punggung tangannya menyeka air mata yang keluar. Air mata itu seolah tidak ada habisnya. Ada saja yang keluar meskipun sudah ia tepis.

Aqsal mengusap wajahnya dengan kasar, tangis Airi makin menjadi-jadi. Aqsal menatap Carter, meminta bantuan cowok itu untuk menenangkan Airi.

Carter mengangkat kedua tangannya. "Gue nggak ikut-ikut ya," Carter melangkah mundur. "sory, Sal, gue duluan." Bagi Carter yang sudah kenal betul Airi. Menghadapi Airi yang menangis sama mengerikannya dengan hantu.

"Carter!" Aqsal berdecak, tangan kanannya terangkat mengacak-acak rambut belakangnya dengan frustasi.

"Kak Aqsal... kenapa sih susah banget bikin Kak Aqsal su-ka sama aku? Emang aku jelek banget ya di mata Kakak?" tanya Airi masih sambil terisak.

"Enggak, aku nggak bilang kalo aku nggak suka sama kamu."

"Kak Aqsal suka sama aku?" Airi menatap Aqsal penuh harap.

Aqsal mengalihkan pandangan. "Aku nggak bisa Airi," gumam Aqsal, dia menghela napas dengan berat. Seolah ada beban yang begitu berat di pundaknya. "aku nggak tertarik sama hubungan semacam pacaran. Aku... aku minta maaf. Tapi memang lebih baik kamu cari cowok lain kalo niat kamu pengen dapet pacar." Aqsal menunduk dengan mata terpejam. Sejujurnya ia tidak tega mengatakan ini pada Airi.

"Sia-sia," Aqsal mengangkat wajahnya, dilihatnya Airi, sorot mata cewek itu berubah hampa. Ada yang berdenyut nyeri dalam dadanya melihat cewek itu terluka. "jadi selama ini aku bagaikan menanti biawak duduk?" tanya Airi, ia tersenyum, tersenyum pedih. Matanya memancarkan kekecewaan yang mendalam.

"Maaf, Airi," ucap Aqsal, hanya kata maaf yang bisa dia ucapnya.

"Nggak masalah, aku... aku akan berusaha buat ngerti. Aku hargai prinsip Kakak." Airi memutar tubuhnya hingga membelakangi Aqsal.

Airi berjalan gontai meninggalkan Aqsal, bahunya bergetar. Tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya yang nyeri. Mungkin sampai di sini saja perjuangannya, nggak ada gunanya juga ia terus menerus memperjuangkan Aqsal jika hasilnya nanti akan sia-sia.

Me And Ketua Rohis (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang