Kamar 117

1.5K 55 4
                                    

Karin berlari memasuki gedung rumah sakit. Otaknya sudah tidak bisa bekerja dengan normal sekarang.
Dia berlari dan terus berdoa dalam hati. Berharap orang yang paling dia sayang masih bisa terselamatkan. Karin takut jika harus kehilangannya. Karin takut merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Karena kehilangan itu menyakitkan.

"Awww!" Rintihnya saat tubuhnya menabrak sesuatu.

"Sorry. Gua gak sengaja!" Ucapnya menyesal lalu berlari meninggalkan Karin.

Karin terhenyak melihat punggung yang sangat dia kenal lalu memutuskan untuk kembali berlari menuju kamar rawat inap. Jantungnya berdetak tak karuan.

Kamar 117.

Semoga gak terjadi apa-apa! Mohon Karin dalam hati.

Dia membuka pintu secara perlahan. Benar-benar perlahan. Dia takut jika nantinya yang dia lihat akan menyayat hatinya.

Dia takur jika nantinya dia melihat hal yang tidak ingin dia lihat.

Hingga akhirnya pintu terbuka lebar-lebar.

Karin mengernyitkan dahinya. Jantungnya mencelos dan hatinya seakan tersayat. Emosinya muncul kepermukaan melihat dua sosok dihadapannya saling menggenggam tangan.

"Dia ngapain disini?" Tanya Karin dingin.

"Rin. Gak boleh gitu!" Bentak Mamanya halus.

"Apa sih ma?! Aku benci sama dia! Ngapain nyuruh aku kesini kalau ketemu dia?!"

"Rin," lirih lelaki itu.

"Jangan panggil nama gua brengsek!" Bentak Karin menutupi gejolak didalam hatinya.

Karin membuang pandangnya saat sendu itu memperhatikannya. Ada gurat kesedihan yang tercetak jelas dipupil matanya.

Karin tidak perduli jika dia dinilai tidak sopan atau malah tidak punya attitude. Karin sudah tidak sudi bertemu dengannya lagi. Bahkan hanya melihat wajahnya saja membuat Karin muak. Membuat hati Karin hancur berkeping-keping karena memori masalalu itu kembali terputar dikepalanya.

Sejujurnya, Karin masih punya rasa belas kasihan melihat lelaki itu yang taklain dan tak bukan adalah Ayah kandungnya sendiri sedang terbaring lemah diatas ranjang. Kalau saja ayahnya tidak pernah membuat kesalahan, mungkin Karin akan berlari dan memeluk tubuh ayahnya.

Namun apa daya. Karin terlalu gengsi melakukan semua itu. Karin terlalu perempuan.

"Rin. Jaga sikap kamu!" Bentak mamanya.

Karin mendecak sebal ,"Yang sebenernya harus jaga sikap itu siapa? Aku atau dia? Kalau mama nyuruh aku kesini buat ketemu dia, lebih baik aku pulang!"

Dia melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Matanya memanas begitu pula hatinya.

Kenapa harus bertemu dengannya lagi?

Karin duduk disalah satu bangku taman rumah sakit. Karin menggerutu dalam hati. Dia pikir ibunyalah yang terbaring diatas ranjang. Tapi ternyata bukan.

Kenapa harus manggil gua sih?! Lagian gak guna juga gua jenguk dia! Kalau dia sakit ruginya buat gua apa?! Nggak kan?! Dulu waktu gua kecil dan sakit, dia ada gak?! Dia jenguk gua gak?!

Dia aja gak pernah peduli sama gua. Kenapa sekarang gua harus peduli sama dia?

Karin tak henti-hentinya menggerutu. Mengeluarkan emosinya walau hanya didalam hati.

Dia terlalu benci pada ayahnya hingga tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipi. Dia sudah tidak tahan menahan sakit dihatinya. Cukup dia berpura-pura tegar. Cukup dia menunjukan fake smilenya. Cukup.

PERBEDAANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang