Sena merenung seorang diri di kamar Apartment nya, memandang kerlap-kerlip kota Jakarta yang jika dilihat dimalam hari sangatlah indah.
Ia gelisah dan berulang kali merutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia tidak tau jika perusahaan yang ia ajukan proposal adalah Volks Thyssen Crack, perusahaan tempat Dave bekerja.
Dulu waktu mereka masih bersama, Dave sempat berbicara pada Sena kalau ia akan dipindahkan ke anak perusahaan tekstil terbesar di Jerman itu di Jepang.
Ia juga tak sadar jika Dave masih bekerja di perusahaan itu soalnya beberapa kali ia mendengar dari kolega-koleganya bahwa laki-laki bertubuh tegap itu sedang menetap di London.
"Kenapa kau bodoh sekali sih Sen?" Gumamnya. Untuk kesekian kalinya ia menghembuskan nafas kecilnya.
Ia butuh Agung sekarang.
Ia pun mengambil ponsel yang terletak diatas sofa disampingnya. Menekan angka 1 untuk speed dial Agung.
"Halo? Kenapa Sen?"
"Kau baik?" Sena memainkan ujung gorden didepannya yang menjuntai hingga menyentuh lantai.
"Tentu. Kau sehatkan? Bagaimana dengan Farrel?"
"Aku sehat, Farrel juga sehat."
"Alhamdulillah kalo begitu. Emm, kau ada masalah?" Sena terdiam untuk beberapa saat, ragu apakah ia harus menceritakan keresahannya pada Agung atau tidak.
"Selena."
"Kau mau membantuku?" Kata Sena cepat.
"Kau tidak mempercayaiku?" Balas Agung.
"Baiklah, aku akan membicarakannya kalau kau sudah pulang dari Irian." Terdengar hembusan nafas Agung diseberang telepon, Ia tau pasti Sena sedang dalam keadaan sangat tidak baik.
"Aku akan segera pulang Sen. Tunggu aku."
------------
Dilain tempat, Agung juga sama halnya dengan Sena, gelisah. Setelah Sena menelponnya tadi Agung jadi susah tidur.
Padahal besok ada kegiatan penyuluhan di klinik terbuka disalah satu desa terbelakang di Papua.
Waktu tempuhnya juga tidak sebentar. Sinyalnya juga pasti akan buruk sekali, lalu bagaimana ia bisa menghubungi Sena?
Karena sudah berkali-kali ia berusaha memejamkan mata namun tidak berhasil, akhirnya Agung pun memutuakan untuk keluar sekedar untuk mencari udara segar.
Namun entah kebetulan atau apa, pintu kamar hotel Dian juga terbuka disaat yang sama.
Sejenak mereka berdua terdiam dan tak bergeming diposisi masing-masing, sampai pada akhirnya Dian membuka suara.
"Hai gung."
"Oh, hai Dian."
"Kau tidak bisa tidur?" Agung mengangguk, "Kau juga?" Dian pun juga mengangguk.
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk meminum kopi bersama di lobby hotel.
"Besok perjalanan dari hotel ke klinik sekitar 6 jam. Kudengar juga disana susah sekali sinyalnya." Dian membuka percakapan, Agung pun menyesap kopi nya sedikit.
"Aku tau, makanya aku tidak bisa tidur." Dian mengerutkan keningnya,
"Kau takut tak bisa menghubungi Sena ya?" Ujar Dian to the point. Agung langsung menatap Dian sendu.
"Tidak usah merasa seperti itu gung. Bukankah hubungan kita sudah sangat sangat lama berakhir?" Agung diam seribu bahasa, dengan Dian berucap seperti itu membuat perasaan bersalahnya 10x lipat bertambah.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Mistake
Romance"You are never need me to be more colorful, because you have a lot of colors which can make another people around you to be happy." Agung Kurniawan "Rainy day in yesterday made me sad cause you leave me under the rain when I love you so much." Selen...