(Ilustrasi: Pandu terdesak dalam pertarungan setelah dikepung oleh puluhan Chandrabirawa.)
Narasoma tersenyum simpul melihat tantangannya diladeni oleh Pandu, ini adalah sebuah kesempatan pula baginya untuk menjajal kesaktian ksatria keturunan Bharata serta mengukur kesaktiannya sendiri yang sudah mendapat ajian Chandrabirawa. Keduanya pun bersiap-siap untuk memulai pertarungan sementara Dasarata, Widura dan Dewi Kunti menjauh dari arena. Tanpa banyak basi-basi lagi, serangan pun dimulai oleh Narasoma dan dilayani oleh Pandu dengan tenang dan penuh kewaspadaan dalam mengukur kekuatan masing-masing.
Ternyata Pandu memang kuat dan sakti, sehingga berkali-kali serangan Narasoma tidak membuahkan hasil walau Narasoma sendiri sudah merasa mengerahkan segenap kekuatannya yang juga sudah meningkat berkat bersemayamnya Chandrabirawa di dalam tubuhnya. Setiap serangan Narasoma selalu bisa diantisipasi dengan cerdik dan penuh perhitungan oleh Pandu. Bahkan dengan bertambahnya rasa penasaran Narasoma, justru memancing emosinya yang mengakibatkan kelengahannya. Beberapa kali serangan Pandu justru berhasil menembus pertahanan Narasoma akibat gerakannya yang terlalu sembrono karena emosi.
Bahkan setelah sekian lama bertarung, kekuatan dan stamina Pandu seakan tiada habisnya, sedangkan Narasoma mulai keteteran apalagi setelah beberapa serangah dahsyat Pandu tidak mampu dihindarkannya lagi sehingga tubuhnya mulai terluka cukup parah. Menyadari kekalahan mulai muncul di depan mata, Narasoma menarik diri mundur dari arena pertarungan.
"Hendak lari kemana, Pangeran Narasoma?" sergah Pandu yang membiarkan Narasoma mundur. "Apakah Pangeran sudah menyerah kalah?"
Narasoma tidak menanggapi karena sibuk mengatur nafasnya yang sudah terengah-engah, lalu dia pun merapal aji Chandrabirawa. Seketika sesosok raksasa bertubuh halus muncul keluar dari tubuhnya dan bersimpuh di hadapan Narasoma.
"Sembah bakti untuk Tuanku, Pangeran Narasoma," ucap Chandrabirawa penuh kesopanan. "Sampaikanlah titah Tuanku dan aku akan melaksanakannya."
Narasoma terkagum sendiri melihat kehebatan ajian yang baru pertamakali digunakannya ini. Kemudian dia memerintah Chandrabirawa, "Kalahkan Pandu Dewanata, pemuda yang sedang berdiri di sana!"
Pandu sejak tadi terheran-heran melihat Narasoma yang sedang merapal ajian Chandrabirawa. Apalagi saat dilihatnya sesosok raksasa yang muncul kemudian berbalik ke arahnya dan mulai melancarkan serangan. Pandu yang sempat kehilangan kewaspadaan pun terkena serangan Chandrabirawa yang sangat dahsyat dan gencar bertubi-tubi. Narasoma tampak gembira melihat betapa ajian yang dikeluarkannya itu sangat hebat dan bisa mendesak Pandu.
Dasarata yang bersembunyi bersama Widura dan Kunti, walaupun bermata buta tapi bisa merasakan perubahan suasana pertarungan. Dia bertanya, "Widura, apa yang terjadi di tengah-tengah pertarungan?"
Widura menjawab dengan cemas, "Setelah terdesak Narasoma mengeluarkan suatu ajian sehingga tubuhnya mengeluarkan sesosok raksasa yang sakti dan sekarang sedang bertarung dan justru berbalik mendesak Kanda Pandu."
Dasarata menggeram dengan gemas, lalu berkata, "Biarkan aku membantu Pandu, Widura. Curanglah Narasoma memanggil bala bantuan dari makhluk halus."
"Sabar dahulu, Kanda. Nanti Narasoma bisa-bisa menyerang Kanda."
Gigi Dasarata bergemeletuk menahan amarah tapi dia masih mencoba menahan diri.
Pandu mulai terdesak dan dengan suatu gerakan cepat dia melompat mundur dan meraih busur dan anak panah yang disimpannya sebelum bertarung. Dengan secepat kilat sebelum Chandrabirawa bereaksi, sepucuk anak panah pun melesat dari busur Pandu dan menancap di dada Chandrabirawa dan membuatnya terjengkang ke belakang. Pandu masih diam berdiri terengah-engah dan tampak lega karena panahnya bisa membunuh Chandrabirawa.
Namun ternyata, perkiraan Pandu salah. Chandrabirawa tidak mati walau darahnya bercucuran menetes dari dadanya. Chandrabirawa bangkit dan mencabut anak panah yang menancap di dadanya. Dan bahkan lebih mengerikan lagi bagi Pandu, setiap tetes darah yang menetes dan menyentuh tanah ternyata menjelma menjadi sesosok Chandrabirawa yang lain. Sehingga gara-gara tertusuk panah Pandu, ceceran darah Chandrabirawa menjelma menjadi puluhan raksasa yang sama kuatnya dan segera bergerak menyerang Pandu. Pandu yang menyadari akibat dari kesalahannya segera membuang busur dan anak panahnya, lalu menerjang menghadapi puluhan Chandrabirawa yang mengepungnya dengan tangan kosong.
Suara pertarungan semakin bergemuruh dan gegap gempita karena kini puluhan Chandrabirawa tengah mengepung Pandu yang terperangkap di tengah-tengah dan tidak tampak di antara gumulan Chandrabirawa. Narasoma semakin takjub menyaksikan kehebatan Chandrabirawa yang sama sekali tidak diduganya. Dirinya pun teringat pada Resi Bagaspati yang ternyata sangat tulus dan menyayanginya sebagai mertua, bahkan rela mati dan menganugrahkannya ajian sehebat itu. Seketika rasa bersalah memenuhi rongga dada Narasoma dan dia hanya bisa berlutut sambil memukulkan kedua tangannya ke tanah dengan penuh penyesalan atas perbuatannya pada Resi Bagaspati.
Sementara Dasarata kembali penasaran dengan apa yang terjadi di arena pertarungan, lalu kembali bertanya, "Kini apa yang terjadi, Widura? Katakan padaku!"
Widura bergidik seram lalu menjawab, "Aku tahu siapa raksasa itu, Kanda. Itu adalah Chandrabirawa, raksasa sakti mandraguna penghuni kahyangan yang sepertinya kini bersemayam di tubuh Narasoma. Kanda Pandu memanah Chandrabirawa tetapi tidak mematikannya. Justru setiap tetes darah dari luka Chandrabirawa menjelma menjadi sosok Chandrabirawa lainnya. Sehingga kini puluhan Chandrabirawa tengah mengepung dan mengeroyok Kanda Pandu!"
"Bawa aku kesana, Widura! Akan kuhajar mereka semua dengan Aji Kumbalageni!" seru Dasarata penuh amarah.
"Baik, Kanda. Aku akan membimbing kanda ke arah pertarungan, tetapi aku akan kembali kemari untuk menjaga Kanda Dewi," sahut Widura.
"Baiklah. Ayo cepat, Widura!"
Widura menuntun Dasarata yang bermata buta hingga mendekati arena pertempuran, lalu meninggalkan Dasarata dan kembali ke persembunyian untuk menjaga Dewi Kunti yang sudah ketakutan melihat pertarungan tidak seimbang dan sepertinya akan berakhir dengan kekalahan Pandu.
Dasarata pun dengan penuh amarah merapal sejadi-jadinya ajian Kumbalageni, yaitu ajian yang memberi kekuatan hebat pada kedua telapak tangannya sehingga apa pun yang disentuhnya akan hancur lebur menjadi debu. Dengan badan bergetar karena kekuatan ajian itu, Dasarata merangsek maju menerjang ke arah pertempuran dengan menamparkan tangannya membabi buta ke arah kumpulan Chandrabirawa.
Betapa saktinya ajian Kumbalageni milik putra sulung Begawan Abiyasa ini, sehingga begitu tersentuh oleh telapak tangannya Chandrabirawa langsung hancur lebur menjadi debu satu per satu. Sehingga kumpulan Chandrabirawa yang tadinya mengeroyok Pandu perlahan-lahan mulai berkurang dan lama kelamaan pun habis dihantam hancur oleh aji Kumbalageni milik Dasarata. Pandu yang sudah kepayahan akibat kepungan Chandrabirawa akhirnya terselamatkan oleh Dasarata.
"Mana kau, Chandrabirawa! Kuhantam kau!" Dasarata masih mencari Chandrabirawa yang sudah habis.
"Kanda Dasarata, ini aku, Pandu! Raksasa itu sudah habis dan musnah berkat aji Kumbalageni, Kanda. Sekarang hentikan ajian Kanda itu atau aku juga akan terhantam olehnya," seru Pandu.
"Baiklah, Pandu," ucap Dasarata terengah-engah sambil menghentikan rapalan aji Kumbalageni. "Syukurlah kau selamat dari kepungan raksasa itu."
Pandu dan Dasarata saling berangkulan dengan lega karena berhasil menaklukan Chandrabirawa. Lalu keduanya, menghampiri Narasoma yang masih duduk berlutut dengan wajah penuh penyesalan dengan menyadari bahwa ajian Chandrabirawa telah ditaklukan Dasarata.
"Bagaimana, Pangeran Narasoma? Kau mengaku kalah atau masih ingin bertarung dengan kami?" tanya Pandu.
Narasoma menunduk dan harus menerima kekalahan untuk kedua kali dalam hidupnya setelah ditaklukan mertuanya, Resi Bagaspati di pertemuan mereka dulu. Dia pun berucap, "Aku mengaku kalah, wahai para pangeran Hastinapura. Aku akan memenuhi janjiku pada kalian dan segera menjemput adikku Dewi Madrim untuk kuserahkan pada kalian. Aku yakin bahwa kalian akan bisa menjaga adikku dan memberikannya kehidupan yang bahagia di Hastina."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHACINTABRATA SUKMA WICARA PART II (CINTA MATI DEWANATA)
Historical Fiction"Mahacintabrata" adalah sebuah novel modern bagi penyuka wayang atau siapa pun yang ingin tahu tentang seni warisan budayawan Indonesia ini. Kisah pewayangan akan diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik dan mudah dicerna, sehingga membuat pemb...