(Ilustrasi: Raja Abiyasa menasihati dan membesarkan hati permaisurinya.)
Seperti telah diceritakan dalam kisah-kisah sebelumnya (bisa dibaca kembali dalam sekuel pertama Mahacintabrata: Brata Sukma Wicara), bagaimana Kerajaan Hastina harus mengalami pasang surut di dalam istana dan kekosongan tahta berulang kali. Setelah Palasara akhirnya kembali menjadi Begawan di Saptaparengga dan harus menyerahkan tahta kepada Santanu sesuai ketetapan Dewata, Setyawati pun akhirnya menerima pinangan Santanu dan sekaligus membesarkan anak tirinya, Bisma Dewabrata. Santanu pun telah maklum akan garisan takdir bahwa tahta Hastina harus diwariskan pada keturunan Setyawati, sehingga dengan berat hati harus membujuk Bisma untuk tidak mengusik tahta, walaupun kecakapan dan kehebatan Bisma telah diakui oleh seisi kerajaan Hastina bahkan juga terkenal hingga kerajaan lain. Bisma dengan keluhuran jiwanya bahkan bersumpah tidak akan menikah dan hanya akan mengabdi pada pemegang tahta Hastina seumur hidupnya.
Namun takdir pun sulit diwujudkna bila harus menghadapi kenyataan yang berbanding terbalik. Setelah putra sulung Santanu dan Setyawati, Prabu Citragada, meninggal dunia tanpa beristri, harapan selanjutnya adalah adiknya, Prabu Wicitrasena. Bisma yang panik saat diutus oleh Setyawati untuk mencari permaisuri, justru malah memboyong tiga putri sekaligus pada sayembara di kerajaan Kasi, yaitu Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambahini. Ketiga putri Kasi tersebut lah akhirnya yang menjadi penerus harapan setelah pada akhirnya Prabu Wicitrasena pun wafat sebelum memberikan putra. Namun Dewi Amba menolak menjadi permaisuri Hastina dan hanya mencintai Bisma hingga akhir hayatnya. Sedangkan Dewi Ambika dan Dewi Ambahini pada akhirnya harus menerima takdir yang pahit karena harus menjadi permaisuri dari Begawan Abiyasa, putra Setyawati dan Palasara. Namun dengan kearifan Raja Abiyasa dan kecakapan Bisma mengawal pemerintahan, Hastinapura beserta rakyatnya pun bisa mencapai kemajuan yang luar biasa.
Bisma tahu bahwa di balik kemajuan negara Hastina ada dua hati yang terluka, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambahini. Keduanya terluka karena nasib telah membawa mereka kepada pangkuan Abiyasa, orang yang tidak dicintai mereka. Senyatanya Bisma mengakui, bahwa dirinyalah yang seharusnya bertanggung jawab atas Dewi Ambika serta Dewi Ambahini bahkan termasuk Dewi Amba yang disia-siakan. Tanggung jawab terhadap ketiga putri tersebut terhitung sejak Bisma memenangkan sayembara.
Mengamati sikap Dewi Ambika dan Dewi Ambahini terhadap Abiyasa, yang dirasa sudah berada di luar batas kepantasan, Ibunda Ratu Setyawati memanggil secara khusus Ambika dan Ambahini.
"Ambika dan Ambahini menantuku, sebagai sesama wanita aku dapat merasakan kesedihan hatimu sejak ditinggal wafat suamimu. Apalagi kalian berdua masih tergolong pengantin baru, dan belum membuahkan anak. Namun bagaimanapun juga sekarang engkau sudah menjadi istri Abiyasa, pantaskah engkau bersikap seperti itu? Kau anggap siapa Abiyasa itu? Orang jalanan yang tidak berharga? Atau orang 'sukerta' yang pantas untuk dijauhi? Dia itu anakku, raja besar Hastina! Rakyat seluruh negeri menaruh hormat kepadanya!"
Walaupun kata-kata yang diucapkan Setyawati itu pelan, namun menyiratkan kemarahan besar. Dewi Ambika dan Ambahini tertunduk diam. Hati mereka semakin sedih mendengar kata-kata yang menikam, dari orang yang selama ini mereka hormati. Tanpa menjawab sepatah kata pun, Ambika dan Ambahini mendekap erat kedua kaki Setyawati.
Untuk beberapa lama Setyawati membiarkan kakinya basah oleh air mata, hingga dengan sendirinya Ambika, Ambahini melepaskan dekapan kakinya. Air mata di kaki Setyawati menjadi terasa dingin. Bersamaan dengan tiupan angin malam, rasa dingin itu merambat masuk ke tulangnya, ke darahnya, ke jantungnya, ke hatinya hingga menyiram pikirannya. Rasa amarah Setyawati berubah menjadi perasaan iba.
Sebentar kemudian ketiga perempuan itu saling berpelukan. Ada persamaan kepedihan di masing-masing hati sebagai sesama perempuan.
Setelah peristiwa itu, Ambika dan Ambahini berusaha menata hati untuk melayani Abiyasa dengan baik. Sikap yang dibangun itu semata-mata hanya menuruti ibunda Setyawati, dengan tujuan untuk meneruskan keturunan dan kesinambungan tahta Hastinapura.
Dengan perubahan sikap yang dilakukan kedua permaisuri Hastina, tidak lama kemudian benih yang ditanam Abiyasa bersemi di dalam rahim Dewi Ambika dan Dewi Ambahini.
Hari-hari menjadi semakin panjang, menunggu lahirnya calon pewaris tahta. Ada kegetiran di sudut hati kedua permaisuri raja, mengingat bayi yang dikandung bukan dari seseorang yang dicintai.
Suasana hati yang gelap dari seorang ibu, mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan. Setelah genap usia kandungan, Dewi Ambika melahirkan anak laki-laki, sayang anak itu tidak dapat melihat terangnya dunia karena matanya buta. Ia diberi nama Dasarata atau Raden Kuru yang artinya gelap.
Demikian juga Dewi Ambahini, pada saat mengandung hidupnya selalu dalam ketakutan, terutama takut kepada Abiyasa, sehingga anak laki-laki yang dilahirkan bermuka pucat dan tengeng. Ia diberi nama Pandu.
Rasa sedih dan kecewa tergambar jelas di wajah Ibu Ratu Setyawati, melihat kedua cucunya lahir dalam keadaan cacat. Walaupun Abiyasa juga mengalami kesedihan serupa, namun sebagai seorang pandhita dan sekaligus raja, ia dapat menyembunyikan perasaan tersebut. Maka ketika Setyawati menyarankan agar Abiyasa berkenan mengangkat permaisuri ketiga, Abiyasa menerima saran ibunda. Dan dipilihlah Rara Katri, wanita keturunan rakyat jelata.
Harapan Abiyasa dan terlebih Setyawati akan lahirnya bayi laki-laki yang sehat tidak cacat, ditambatkan kepada permaisuri ketiga ini. Namun seperti yang terjadi pada Ambika dan Ambahini, Rara Katri tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Karena bayi laki-laki yang di lahirkan bermuka hitam dan pincang. Ia di beri nama Yamawidura.
Kekecewaan demi kekecewaan, tidak hanya dirasakan oleh orang-orang terdekat keluarga raja, namun juga dirasakan oleh kawula Hastina. Tidak terkecuali Bisma.
"Yah itu semua adalah salahku. Sebagai silih atas kesalahanku, apapun yang bakal terjadi, aku akan ikut mempertahankan kejayaan negara Hastinapura, sepanjang umurku," kata Bisma dalam hati.
(Bagian 4. "Pewaris Tahta Yang Tidak Sempurna" disadur dengan sedikit perubahan nama tokoh tanpa mengubah jalan cerita yang 'sungguh luar biasa dan mengharukan' dari artikel karya Herjaka HS. Artikel tersebut merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang-Undang. Namun dipersilakan mencopy content dengan menyertakan credit atau link website: www(dot)tembi(dot)net - Rumah Budaya dan Sejarah.)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHACINTABRATA SUKMA WICARA PART II (CINTA MATI DEWANATA)
Historical Fiction"Mahacintabrata" adalah sebuah novel modern bagi penyuka wayang atau siapa pun yang ingin tahu tentang seni warisan budayawan Indonesia ini. Kisah pewayangan akan diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik dan mudah dicerna, sehingga membuat pemb...