(Ilustrasi: Lukisan Dewi Kunti bersama suaminya, Pandu Dewanata.)
Malam pertama sebagai seorang permaisuri Raja... sebagai seorang Ratu Hastina... sebagai seorang istri dari Pandu Dewanata... ternyata tidak sesuai dengan bayangan keindahan cinta bagi Dewi Kunti. Walaupun merasa lelah dengan acara pernikahan dan penobatan yang menguras tenaga sepanjang hari, namun rasa gelisahnya akan malam pengantin mencegah Dewi Kunti untuk segera naik ke peraduan di dalam kamar tidurnya. Dia pun hanya duduk menunggu... menunggu suaminya, Sang Raja Hastina yang baru, yang mungkin akan memanggilnya untuk melepaskan secara resmi masa lajangnya.Namun hingga tengah malam menanti, panggilan yang diharapkannya tidak kunjung tiba. Dewi Kunti tertunduk sedih di dalam kamarnya, dan tak tertahankan pula tetesan air mata yang mengalir dari kedua matanya. Hatinya pun pilu dan semakin lama semakin kalang kabut. Terbayang-bayang kembali kejadian-kejadian silam sewaktu sayembara di Mandura, perjalanan panjang ke Hastina, dan juga jika dirunut berbagai peristiwa dan asal-muasal kejadian hingga saat ini, teringatlah Dewi Kunti pada kejadian saat dia merapal mantra Adityahredaya.
Teringat kejadian di masa lampau tersebut, Dewi Kunti pun tersentak. Mungkinkah ini sebuah hukuman yang terlambat datang akibat kelalaiannya merapal mantra tersebut tanpa alasan yang jelas? Hatinya pun kalut dan panik karena membayangkan jika suaminya, Pandu Dewanata mungkin telah mengetahui bahwa dirinya pernah berputra. Itukah sebabnya di malam pertama ini dia tidak pantas untuk dipanggil oleh suaminya?
Akhirnya Kunti menyerah, penantiannya malam itu diakhiri dengan tangis tersedu-sedu yang ditumpahkannya di atas peraduan yang terasa sangat dingin dan bahkan terasa menusuk hatinya. Kejadian masa lalu seolah menjadi mimpi buruk yang menghantui tidurnya malam itu. Mantra Adityahredaya, kemunculan Batara Surya, kehamilannya secara sembunyi-sembunyi selama berbulan-bulan, hingga kelahiran bayinya yang dibantu Resi Druwasa. Dia pun teringat pada bayinya, Karna, yang dihanyutkan di sungai dan entah di mana kini berada, bila memang Batara Surya menyelamatkannya.
Dewi Kunti merasa tiada seorang pun yang bisa menolongnya malam itu, rasanya tidak pula seorang Yamawidura yang telah berjanji untuk melakukan apa pun demi kebahagiaannya.
Keesokan harinya, tugas dan kegiatan di hari pertama sebagai seorang Ratu sekaligus istri Raja sudah menanti Dewi Kunti. Pagi hari, dalam acara sarapan bersama, sang Raja baru Hastina dengan didampingi kedua permaisurinya akhirnya berkumpul bertiga di ruang makan khusus Raja dan permaisuri.
Dewi Kunti menatap piring di hadapannya dengan pandangan kosong. Tiada sedikit pun rasa lapar yang hinggap pada dirinya. Dia tidak kuasa pula berbicara bahkan menatap suami barunya, Prabu Pandu, apalagi menatap Dewi Madrim. Sekali-sekali disadarinya bahwa Prabu Pandu dan permaisuri Madrim berbisik-bisik di belakangnya, mungkin menertawakan atau tesenyum sinis padanya, begitulah yang dirasakan oleh Dewi Kunti. Akhirnya Dewi Kunti pun tidak kuasa menahan diri, dan dia pun berdiri dari kursinya di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHACINTABRATA SUKMA WICARA PART II (CINTA MATI DEWANATA)
Historical Fiction"Mahacintabrata" adalah sebuah novel modern bagi penyuka wayang atau siapa pun yang ingin tahu tentang seni warisan budayawan Indonesia ini. Kisah pewayangan akan diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik dan mudah dicerna, sehingga membuat pemb...