2. Teman Asap

1.5K 146 0
                                    

Maaf kalo banyak typo karena... Yah. Yaudah, gak usah banyak cuap-cuap XD

Happy reading!xx

***

HARI ini, Ratna bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah mandi dan memakai pakaiannya, Ratna bergabung ke meja makan dengan kakaknya. Tas gamblok hitam yang berisi buku-buku itu ia letakan di kursi kayu yang berada di sampingnya. Rasanya tidak sabar untuk menapakkan kaki di pelataran gedung kampus untuk pertama kalinya.

Pagi di Jakarta tentunya jauh beda dengan suasana di Jogja yang cenderung dingin, apalagi saat pagi-pagi sekali, air di bak mandi rasa-rasanya seperti lelehan segunung es batu. Tapi tak apalah, justeru Ratna senang dengan suasana baru di sini, apalagi ini semua 'kan karena keinginannya juga.

"Enak nih, Kak!" Ratna menyantap nasi goreng sosis buatan kakaknya. Karena selain cantik, Radin pandai memasak. Jauh beda dengan dirinya yang kadang masak mie goreng saja kelembekan.

Lagu klasik terdengar dari telepon genggam Radin yang ada di atas meja makan. Ponsel itu bergetar hebat. Radin buru-buru mengangkatnya. Ratna heran, bisa-bisanya kakaknya memakai lagu klasik sebagai nada dering. Kalau Ratna sih, bukannya angkat telepon, malah tidur karena terkantuk-kantuk dengar lagunya.

"Good morning ... ini aku lagi sarapan, kok ... iya ... nanti kamu ke kantor kayak biasa, 'kan? ... okay ... have a nice day too, sayang."

Kening Ratna berkerut. Sayang? Jadi selama ini Radin punya pacar? Memang tidak heran, sih, kalau Radin punya pacar. Huh, She's beautiful, friendly, smart, good looking, dan sepertinya semua hal positif ada di dalam diri perempuan itu. Who doesn't like her?

Bahkan, kalau Ratna adalah seorang laki-laki dan bukan adik kandung dari seorang Radin, mungkin ia akan menyukai gadis itu juga.

"Oh, jadi ada yang diem-diem punya pacar, nih," sindir Ratna, begitu Radin menutup sambungan teleponnya.

Radin mengunyah nasi goreng buatannya dengan lambat. "Belum lama, kok. Btw, dia satu kampus sama kamu loh, Rat," katanya.

"Seumuran sama aku, dong? Ternyata Kakak sukanya yang muda-muda gitu, ya."

"Enggak lah, dia 20 tahun. Beda empat tahun doang," jawab Radin santai. Nasi di piringnya sudah hampir habis. "Lagian umur bukan masalah besar buat Kakak."

Ratna, gadis itu hanya mengangkat kedua alisnya lalu meneguk segelas air mineral yang ada di atas meja sampai habis. Tas gambloknya ia sampirkan di punggung, lalu bergegas ingin pergi. Ratna terlalu bersemangat untuk pergi, padahal Kakaknya saja baru bersiap-siap untuk berangkat kerja.

"Kak, aku berangkat dulu ya," Ratna menghampiri gadis itu, dan mencium punggung tangannya. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati!"

***

Ternyata Jakarta tidak seindah yang selama ini Ratna bayangkan. Saat masih SMA di Jogja dulu, ia masih bisa pergi ke sekolah dengan sepeda putih berkeranjang-nya tanpa repot-repot menutup hidung karena asap kendaraan. Karena meskipun sudah ada di dalam bus kota yang akan membawanya ke Universitas, Ratna masih saja menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan; untuk menghindari asap kendaraan dan asap rokok yang bercampur jadi satu.

Bus kota pagi ini cukup sesak. Kata Radin, ini adalah hal wajar. Ratna harus terbiasa dengan keadaan seperti ini untuk setidaknya empat tahun kedepan. Sebetulnya, ini bukan masalah besar. Mungkin besok-besok Ratna harus membawa masker penutup wajah saat menaiki bus kota.

Dia berdiri menghadap kaca bening bus ini. Tangan kirinya menggenggam pegangan yang menggantung di langit-langit bus. Bau asap rokok dari seorang bapak berkumis yang duduk tepat di depannya berdiri. Ratna menghembuskan napas jengah sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara.

"Hidup di Jakarta tuh harus kebal sama yang namanya asap," kata perempuan yang juga berdiri di samping Ratna. Perempuan itu berbisik dengan pelan.

Ratna mendelik. Seumur-umur, ia belum pernah menjumpai perempuan itu. Dengan kata lain, perempuan itu adalah orang yang tidak dikenalnya. Alih-alih menatap perempuan di sampingnya dengan bingung, dia mengulurkan tangan kirinya selagi tangan kanan memegang benda yang menggantung di langit bus. "Gue Melati," dia tersenyum.

Ratna bingung, kemudian membalas uluran tangan itu dengan senyuman. "Ratna."

Perempuan yang bernama Melati itu tersenyum ramah. Begitu juga Ratna. "By the way, mau kemana?"

"Aku?" Ratna menunjuk dirinya sendiri. "Mau ke kampus. Tuh sedikit lagi sampe."

"Serius? Kita sama dong!" Ujar Melati antusias. "Jurusan apa?"

"Desain Komunikasi Visual," jawabnya singkat.

Melati tercengang. "Gue nggak tau ini takdir atau cuma kebetulan, tapi jurusan kita sama!"

Ratna tersenyum ke arah teman barunya itu. "Bagus dong. Baru hari pertama masuk, udah dapet temen," ucapnya. "Kalo gitu, salam kenal, Melati."

Sepanjang jalan, keduanya berbincang-bincang tentang diri masing-masing. Melati terkejut begitu tau Ratna pendatang baru di Jakarta dan ini kali pertamanya 'tinggal' di Ibukota. Bahkan, gadis itu bilang ia bersedia kalau Ratna meminta untuk ditemani jalan-jalan.

Bus kota yang melaju dengan kecepatan sedang itu berhenti di halte yang jaraknya hanya beberapa langkah ke gedung kampus. Masih dengan obrolan serunya, Ratna dan Melati berjalan beriringan memasuki pelataran kampus yang ramai.

Seumur-umur ia tidak pernah menyangka bahwa akan semudah ini mendapat teman di kota ini. Padahal di bayangan Ratna, ia akan sendirian. Pergi kemana-mana sendirian paling tidak di satu bulan pertama.

Cukup menyenangkan.

***

KOTA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang