Chapter III
Pasukan Gajah Belang
Tuhan tidak pernah bermain-main menciptakan semesta. Segalanya terencana hingga bagian paling rumit sekalipun. Kita, misalnya.
—Jendelaa
***
SUDAH DUA minggu Ratna menjadi mahasiswi di kampus yang super megah ini. Awal-awal semester begini, Ratna sedang semangat-semangatnya belajar. Tidak heran, sih, dia merupakan gadis yang pintar dan punya tingkat kecerdasan tinggi. Sejak Sekolah Dasar, Ratna selalu jadi juara kelas di sekolahnya. Dan ia tidak mau kehilangan predikat dalam dirinya itu.
Omong-omong, semenjak Ratna berkenalan dengan Melati, mereka jadi dekat. Bahkan beberapa hari kebelakang ini, keduanya sering berangkat ke kampus bersama, ke kantin bersama, bahkan pulang bersama dengan bus kota. Melati juga mengenalkan gadis itu kepada Doni––cowok jurusan DKV yang juga sekelas dengan mereka. Melati mengenal pria itu sejak dirinya masih duduk di bangku SMP.
Bukan apa-apa, Ratna mau berteman dengan dua orang itu memang karena mereka menyenangkan dan sangat welcome dengan orang baru semacam Ratna. Seakan sudah mengenal perempuan itu sejak lama, tanpa ada rasa canggung. Apalagi dengan tingkah lucu Doni yang mengundang gelak tawa. Menurutnya, dua orang itu sungguh sederhana, membuat Ratna nyaman untuk bergaul dan bercerita tanpa ragu.
"Bu, mie ayam satu!" Teriak Doni ketika ketiganya sampai di kantin belakang gedung kampus.
Ratna, Melati, dan Doni kompak duduk di meja kantin yang ditempeli stiker besar salah satu merek minuman botol. Ratna dan Melati memesan bakso untuk teman makan siangnya kali ini, sedangkan Doni, cowok itu masih menggemari mie ayam kantin ini yang rasanya memang juara.
Melati bergumam ke arah cowok itu seraya menaruh tas di sisi kiri bangkunya, "Ck, pantesan aja rambut lo kayak mie."
Doni tersenyum meledek ke arah Melati. "Keriting-keriting gini juga lo sempet naksir 'kan sama gue? Ngaku aja lah, Mel! Gue udah baca semua isi buku diary SMP lo, kok."
"Ye!" Melati memukul pelan kepala cowok itu dengan gagang sendok di tangannya. Yah, walaupun sebenarnya tidak memberikan efek apa-apa—sebab kepala Doni dilindungi secara eksklusif oleh rambut keritingnya yang mirip seperti kembang kol. "itu juga gue khilaf kali! Udah ah, jijik gue kalo inget-inget itu."
"Hati-hati kena karma loh, Mel," timpal Ratna dengan kekehan kecil dari mulutnya.
Melati mendelik. Sehubungan dengan itu, pesanan dua mangkuk bakso dan satu porsi mie ayam datang bersama dengan tiga gelas es teh manis. Seorang ibu paruh baya yang merupakan pemilik warung itu menjajakan makanan di atas meja mereka.
Ratna menumpahkan saus pedas ke mangkuk baksonya, lalu mengaduk makanan berkuah itu sampai semuanya tercampur. Melati mengamati temannya itu. Satu fakta baru yang dia ketahui tentang Ratna; gadis itu suka pedas. Bahkan, sewaktu SMA ia pernah jajan siomay di kantin dengan saus yang hampir seperlima botol—dan lebih cocok disebut saus campur siomay, ketimbang siomay campur saus—alhasil, Ratna harus berujung di rumah sakit karena asam lambung kronis.
Ketiganya makan dengan lahap, seperti orang yang tidak makan seminggu. Malah, mangkuk mie Doni hampir ludes. Menyisakan sedikit kuah dan beberapa helai daun sayur sawi di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOTA KITA
Chick-LitPergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di universitas ternama adalah impian Ratna sejak dulu. Tujuannya hanya belajar dan mencoba untuk hidup mandiri dengan jauh dari kedua orang tuanya. Hanya itu. Tapi di kemudian hari, Ratna tidak menyangka bah...