Cintai ia yang membuatmu merasa dicintai, dimengerti. Karena percuma rasanya kau mencintai seseorang, namun ia tak membuatmu merasa dipilih.
—Kharisma P.
***
RADIN berkali-kali mengganti slide pada power point di laptopnya begitu selesai menjelaskan materi-materi penting dalam rapat terakhir sidang redaksi siang ini. Tentu saja, ini juga merupakan salah satu tugasnya sebagai redaktur pelaksana di perusahaan majalah remaja terkenal ini.
Ia berjalan ke kiri beberapa langkah, kemudian mengulang gerakan yang sama ke kanan dan begitu seterusnya. Tangannya sesekali menujuk papan proyektor besar yang berada di depan meja kayu berbentuk persegi panjang yang diisi oleh para jurnalis dan para penulis artikel di perusahaan ini.
"Jadi, saya rasa kita membutuhkan sesuatu yang baru, lebih fresh dan up to date. Kalian teliti hal-hal yang sedang trend di kalangan anak remaja sekarang, tapi tetap ada point-nya. Sasaran pasar kita memang itu, tapi saya tidak ingin majalah ini dicap buruk hanya karena menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya," ucap Radin panjang lebar. Para bawahannya itu mengangguk-angguk tanda mengerti. "for example, kalian bisa cari siapa aja tokoh-tokoh muda yang disukai remaja sekarang, punya banyak bakat dan prestasi. Which is, yang bisa menginspirasi orang banyak."
Lagi-lagi mereka mengangguk. Beberapa di antaranya sibuk mencatat hal-hal yang Radin bicarakan di note book yang ada di hadapan mereka. Radin kembali membuka suaranya. Kali ini terdengar lebih pelan—mungkin karena kelelahan sudah berbicara di depan sini kurang lebih satu setengah jam kebelakang.
"Saya harap kalian bergerak lebih cepat mulai hari ini. Pada rapat kemarin saya sudah memberikan beberapa materi dan arahan, semoga kalian masih ingat. Saya ingin team ini bisa berkerja dengan ba—"
Ucapan Radin terpotong begitu terdengar suara ketukan pintu yang disusul oleh masuknya seorang perempuan dengan kemeja putih. "Permisi, mbak Radin. Maaf ganggu. Saya Cuma mau kasih tau kalau ini sudah masuk jam makan siang," kata perempuan itu lembut.
Matanya melirik sekilas ke arah jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Oh iya. Makasih ya, Cha," ucap Radin kepada perempuan bernama Echa itu.
"Oke semuanya, saya pikir cukup rapat kita hari ini. Selamat siang." Radin tersenyum hangat kepada rekan-rekannya yang kini sedang bergantian keluar dari ruangan ini.
Setelah laptop, tas, dan tumpukan mapnya selesai di rapihkan, Radin bergegas keluar dari ruangan dengan banyak kursi ini. Kebetulan, ia bertemu dengan seorang Office Boy yang membawa nampah kosong—mungkin habis mengantarkan kopi, atau entahlah.
"Pak! Pak!" panggil gadis itu.
Bapak berusia kisaran tiga puluh tahun itu buru-buru menghampiri Radin. "Ada apa, mbak?"
"Pak, tolong bawa laptop sama map keruangan saya ya? Saya mau langsung makan siang soalnya, males ke atas. Hehehe."
"Oke, siap mbak!"
"Sip deh! Makasih ya Pak, maaf ngerepotin."
"Iya mbak, sama-sama."
Bapak itu sudah berlalu dari hadapannya. Kini Radin melangkahkan kakinya keluar gedung—berniat untuk mencari makan siang. Kira-kira, enaknya makan apa ya?
Belum genap lima langkah dari pintu masuk gedung perusahaan ini, tiga orang perempuan dengan umur yang bervariasi itu memanggil Radin dan menghampirinya. "Mbak, mau makan siang dimana?" tanya Intan, gadis dua puluh dua tahun, bertempat di bagian pustaka.
"Belum tau nih, Inn, paling makan di restoran fastfood aja."
"Bareng-bareng aja yuk, Mbak, kebetulan kita mau ke tempat gulai di perempatan sana. Kata yang lain sih, rasanya enak," sahut Nia, tiga puluh empat tahun, resepsionis.
"Mmm... boleh deh. Yuk!"
Radin, Intan, Nia, dan Echa—perempuan yang mengingatkan Radin saat di ruang meeting tadi—berjalan beriringan menuju warung makan gulai sapi yang berada tak jauh dari gedung kantor mereka. Karena meskipun jabatannya lebih tinggi, Radin oke-oke aja untuk bergaul dengan siapapun.
***
"Eh, kemarin liat Instagram-nya mas Rio nggak?" tanya Nia, si biang gosip di kantornya itu setelah selesai mengunyah satu suap nasi dan potongan danging sapi ke mulutnya.
Memang sudah tidak asing lagi. Nia dan Intan, ini adalah tipikal wanita-wanita penggosip paling heboh sekantor. Untuk hal-hal yang menyangkut masalah rekan kerjanya, mereka paling up to date—apalagi Nia. Mungkin karena umurnya yang sudah tidak lagi muda. Tapi di antara ketiga orang ini, yang paling bisa Radin maklumi adalah Echa. Karena, yah, setidaknya gadis itu masih cukup kalem.
"Nggak tuh, mbak. Emangnya kenapa?" sambung Intan, yang memasang wajah penasaran.
Radin yang duduk di sebelah Echa hanya menghembuskan napas pelan, dan lebih fokus kepada makanan di hadapannya. Semua tentunya tau, Radin lebih memilih diam dan tidak bersuara daripada ikut membicarakan hal yang tidak-tidak tentang orang lain.
Nia membuka suaranya lagi, "Itu loh, dia upload foto sama pacar barunya. Ih, kok mas Rio mau ya? Dia kan ganteng. Sementara ceweknya? Udah item, pendek, jerawatan pula! Nggak banget 'kan?"
"Ah masa sih, mbak? Coba nanti aku liat ah!" lagi-lagi Intan menyahuti.
Oh, Tuhan, apakah keputusannya untuk makan bersama dua orang ini adalah kesalahan? Huft. Daritadi Radin hanya tertawa dalam hati, mendengar ocehan-ocehan orang di hadapannya ini.
"Eng—In, kamu sama pacar kamu kapan mau nikah?" kali ini Echa bersuara. Baiklah, setidaknya topik kali ini sedikit lebih baik dibanding mengomentari keburukan orang lain.
"Rencananya sih Agustus, Cha, empat bulan lagi," balas Intan cepat.
Echa hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu menoleh ke arah Radi. "Kalo mbak, nggak ada planning buat nikah? Kan pasangannya udah ada, tuh."
Radin bergeming. Pikirannya kembali mengingat-ingat kejadian akhir-akhir ini. Kekasihnya itu seperti hilang ke negeri antah berantah. Jangankan memberi kabar, bahkan Radin telepon saja tidak pernah dijawab. Okelah, beruntungnya Radin adalah gadis yang pengertian dan positif thinking, jadi dia berpikir bahwa laki-laki itu barangkali sibuk dengan kegiatan-kegiatan kuliahnya, mengingat ia jarang masuk kantor akhir-akhir ini.
"Waduh, saya belum kepikiran sampai situ," jawabnya dengan kekehan santai. "masih sibuk kerja dulu."
Bohong besar. Siapa sih yang tidak ingin menikah? Pun pasangan sudah ada. Apalagi umur Radin sudah dua puluh empat. Yang artinya sudah cukup matang untuk perempuan berumah tangga. Secara finansial juga Radin dirasa sudah siap. Pendapatannya selama menjadi redaktur pelaksana di kantornya dirasa sudah lebih dari cukup.
Namun, terlepas dari itu semua. Hatinya masih terus bertanya-tanya, apakah kekasihnya itu memiliki tujuan yang sama? Atau hanya ingin berputar di satu tempat saja?
Bahkan angin pun ragu untuk sekedar menjawab ya atau tidak.
***
Note: pendek banget ya? :3
![](https://img.wattpad.com/cover/65679789-288-k90873.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KOTA KITA
ChickLitPergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di universitas ternama adalah impian Ratna sejak dulu. Tujuannya hanya belajar dan mencoba untuk hidup mandiri dengan jauh dari kedua orang tuanya. Hanya itu. Tapi di kemudian hari, Ratna tidak menyangka bah...