Chapter IV
Akhir Pekan
Warning: part ini sangat pendek dan pointless. Ya, seneng-seneng dulu aja deh di awal. Itung-itung pemanasan.
***
BANGUN SIANG adalah kebiasaan Ratna yang tidak bisa dimusnahkan dalam darahnya. Bagi Ratna, tidur adalah hal berharga di hidupnya. Jadi, siapapun yang mengganggu waktu tidurnya, dia harus mendapatkan balasan. Sebab, jarang-jarang ia bisa mendapat kesempatan untuk tidur sampai siang selain di akhir pekan seperti saat ini.
Dalam mimpi indahnya, perempuan itu sedang menonton aksi panggung band kesukaannya, yaitu Paramore di festival musik luar negeri. Dia bernyanyi dengan keras dan melompat seraya berputar-putar di bawah panggung. Saking hebohnya, Ratna yang saat itu hanya memakai celana pendek kebesaran dan kaus hitam bergambar wayang, diajak ke atas panggung oleh sang vokalis—wanita berambut pirang yang selama ini diidolakannya––Hayley Williams.
Di atas panggung, Hayley memberikan mic-nya pada Ratna dan membiarkan gadis itu bernyanyi sesuka hatinya. Penggalan lirik lagu Still Into You dinyanyikannya dengan kencang dan perempuan itu berusaha keras agar suaranya terdengar merdu. Tapi tiba-tiba telapak tangan Hayley melayang ke pipi-nya. Menepuk pipi perempuan itu hingga ia meringis.
"Nghhhhh ...," Ratna mengerjapkan matanya sambil bergumam. Ia mengusap pipinya yang terasa sedikit sakit.
"Hoi, bangun!" Alih-alih memimpikan bertemu dengan band kesukaannya di mimpi, ketika Ratna membuka mata bukan Paramore yang ia lihat, melainkan seorang gadis berambut hitam yang panjangnya sebahu. Gadis itu duduk di tepi ranjangnya, menepuk-nepuk pipi kenyal Ratna.
Melati menyingkapkan selimut yang menutupi sebagian tubuh Ratna. Menarik lengan perempuan itu, memaksanya agar bangun dari tidur indahnya. "Rat, lo sebernya tidur apa pingsan, sih?! Sekarang udah jam setengah satu siang dan lo masih belom bangun?!"
Ratna kembali menyingkap selimutnya dan menutupi wajahnya dengan kain tebal itu. "Aku masih ngantuk, Mel."
"Rat, kita kan udah janjian mau weekend bareng. Masa lo lupa?" Kata Melati, mengingatkan.
Dengan berat hati, Ratna bangun dari posisi semula. Lalu menyambar handuk yang ia gantung di belakang pintu—kebiasaannya itu tak bisa dihilangkan. Berjalan menuju kamar mandi yang ada di sudut kamarnya dengan mata terpejam. "Tunggu ya, sepuluh menit. O ya, di bawah ada Kakakku 'kan?"
Perempuan itu mengangguk. "Ada, lagi bersih-bersih gitu."
Seharusnya Melati tau, kata "sepuluh menit" itu bisa ia gunakan untuk pergi ke mall, belanja pakaian, creambath di salon, dan makan di restoran cepat saji.
***
Keempat orang itu keluar dari gedung mall itu dengan wajah pucat. Terkecuali Ratna. Ditangannya ada empat tiket XXI yang sudah dipakai.
"Nggak lagi-lagi deh gue nonton film kayak gitu," oceh Melati, membayangkan bagaimana film horor yang ditontonnya tadi. "sumpah, rasanya gue mau muntah inget-inget adegan tadi. apalagi pas bagian si cewek motong tangannya sendiri pake gergaji mesin. Iiihh..."
Ratna terkekeh. Ah, sudah biasa baginya. Sebagai penggemar film horror yang sadis-sadis, film yang ditontonnya tadi masih kurang extreme dan belum mencapai level puncak. "Kapan-kapan kita nonton lagi yang lebih serem, ya?"
Doni menggeleng cepat seraya bergidik ngeri. "Gue mending disuruh cuci baju seluruh keluarga gue, dibanding nonton film gituan. Nggak, deh."
Mereka tetawa. Apalagi mengingat jumlah anggota keluarga Doni yang banyak. Ayah, Ibu, Doni, tiga kakak, dan dua adik. Bayangkan gimana Doni disuruh mencuci baju keluarganya sendiri? Bisa langsung lurus rambutnya yang keriting itu.
"Laper nih," pekik Irgy seraya memegangi perutnya. "cari makan dulu, yuk!"
Melati mengedarkan pandangannya, dan menunjuk salah satu restoran yang letaknya . "Itu aja tuh, American food, tempatnya juga enak kayaknya."
Restoran besar bergaya vintage ini sedang ramai pengunjung. Pintu kaca di depan sana terus mengeluarkan suara, pertanda banyaknya orang yang keluar masuk dari sini. Begitu masuk, pengunjung disuguhkan dengan desain yang cantik. Lukisan, bunga, dan barang-barang antik yang digantung di dinding. Semuanya tampak indah.
Bau khas makanan dan aroma bunga padu dalam satu ruangan luas ini. Seluruh meja yang terbuat kayu dengan ukuran khas Jepara, juga sofa empuk berwarna cokelat terisi penuh oleh orang-orang yang memesan makanan. Denting sendok garpu yang beradu dengan piring menjadi instrumen pengiring kala mereka mengisi perut kosongnya.
Beberapa makanan khas Amerika dan minuman dingin memenuhi meja bernomor 4 yang letaknya persis di samping kaca besar yang menjadi pembatas restoran ini. Gelak tawa dan candaan ringan khas remaja menghiasi acara makan siang hari ini. Sebetulnya, ini tidak pantas di sebut makan siang. Karena sekarang, waktu sudah menunjukan pukul 15:10 WIB yang lebih pantas disebut makan sore. Tapi itu bukan masalah besar. Yang penting perut kenyang.
"Ratna, gantian dong, ceritain masa SMA lo di Jogja," ucap Doni, sesaat setelah ia menceritakan masa-masa sekolahnya bersama Melati dan Irgy.
Ratna menghentikan tawanya. Ia berdeham, siap untuk bercerita. "Jadi—"
Belum sempat gadis itu bercerita, suara panggilan masuk dari ponsel Irgy meginterupsi terlebih dahulu. Nada dering itu terdengar jelas di telinga Ratna. Ia memperhatikan Irgy sejenak. Cowok itu mengambil ponselnya yang dia letakan di atas meja, lalu melihat ke arah layar datar ponsel tersebut. Dia menatap temannya bergantian, bermaksud meminta izin untuk mengangkat telepon. Cowok itu menjauh beberapa langkah dari tempat teman-temannya, dan menggeser tombol hijau. "Halo?"
Ratna penasaran, kenapa dia harus menjauh? Ia berpikir sembali menatap punggung Irgy. kemudian ia bertanya kepada Doni dan Melati yang mungkin bisa menjawab pertanyaannya itu. "Siapa sih? Kok harus jauh-jauh gitu?"
Doni mengangkat kedua bahunya. "Mungkin privasi."
"Tapi mungkin juga pacarnya," lanjut Melati santai
Ratna menyerit, "Irgy punya pacar?"
"Nggak tau juga. Mungkin iya, mungkin nggak. Dia nggak pernah cerita apa-apa soalnya," sahut Melati.
"Dia setertutup itu, ya?"
Melati mengisyaratkan 'iya' dengan menangkat kedua alisnya. "Tapi gue denger-denger sih, dia deket sama temen kantornya gitu."
"Jadi Irgy kerja?" tanya Ratna dengan rasa penasaran yang meningkat serratus persen. "Kerja apa?"
"Fotografer di majalah, tapi jarang-jarang juga sih dia kerjanya."
Dengan adanya malam ini, membuat Ratna semakin penasaran dengan pria bernama Irgy itu.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
KOTA KITA
ChickLitPergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di universitas ternama adalah impian Ratna sejak dulu. Tujuannya hanya belajar dan mencoba untuk hidup mandiri dengan jauh dari kedua orang tuanya. Hanya itu. Tapi di kemudian hari, Ratna tidak menyangka bah...