12. Serumpun Aksara

1.1K 108 10
                                    

BAB 12

SERUMPUN AKSARA

***

DENGAN LANGKAH tergesa-gesa, Ratna berjalan ke arah tempat kerjanya. Bulir-bulir keringat mengucur di dahi dan pelipisnya. Kemacetan, padatnya penumpang dalam bus, juga teriknya matahari siang ini membuat ia kegerahan. Harusnya ia terima saja tawaran Irgy yang mau mengantarnya. Tapi Ratna malah menolak dan memilih pergi sendiri.

Cepat. Cepat. Cepat. Pecat. Dua kata itu mengelilingi pikirannya sejak tadi. Masalahnya Ratna sudah telat lebih dari satu jam, dan ia tak pernah telat selama ini sebelumnya. Dengan bergegas ia menghampiri Dira, untuk mengisi absensi hari ini.

"Kamu telat udah lebih dari satu jam loh, Rat. Jam istirahat jangan lupa ke ruangan Pak Tio, ya!" kata perempuan tigapuluh tahun itu mengingatkan. Ratna mengangguk. Ia sudah paham aturan di tempat kerjanya, bahwa siapa saja yang telat lebih dari satu jam, wajib menghadap sang atasan; setelah itu, bagaimana terserah si bos. Memaafkan atau justru memberikan dispensasi-dispensasi ringan.

"Iya, Mbak," ucap Ratna. "saya permisi dulu ya."

Perempuan itu menaruh tas-nya di atas meja, kemudian duduk menyandar di kursi putar tersebut. Ratna masih mengtur napasnya yang tersenggal-senggal karena lari tadi.

Tombol turn-on pada komputer di hadapannya ia tekan. Lalu setelah komputer itu menyala, buru-buru Ratna menyelesaikan tugas-tugasnya. Cukup banyak kalau dipikir-pikir. Belum lagi dengan deadline yang membuat kepalanya pening seketika. Memang gadis itu bukanlah satu-satunya ilustrator di sini, tapi pekerjaan yang menumpuk ini cukup membuat lelah juga.

Sesuai dengan yang diingatkan Mbak Dira, Ratna mengambil langkah untuk menghampiri Pak Tio di ruangannya. Yah, mau tidak mau gadis itu harus merelakan sebagian jam istirahatnya untuk menghadap si bos.

Pintu kaca itu ia ketuk pelan, di detik berikutnya terdengar suara Pak Tio yang memekik, "Silahkan masuk."

Ratna mendorong pintu kaca itu, seketika wangi pengharum ruangan menyeruak masuk ke rongga hidungnya. Ia mendekati pria paruh baya itu, lalu menyerahkan secarik kertas dan berujar, "Saya mau lapor soal keterlambatan saya, Pak."

Pak Tio mengambil kertas itu lalu membacanya. Keningnya berkerut saat matanya mengamati jajaran huruf dalam kertas putih itu. Ia tampak berpikir. Lalu sepersekian detik kemudian tangannya mengambil bolpoint hitam yang ada di mejanya, lalu menandatangani kertas tersebut di kolom yang telah tersedia. Kalau diperhatikan, hari ini wajah Pak Tio tak seperti biasanya. Wajahnya tampak pucat. Beberapa kali juga Ratna mendengar pria itu terbatuk.

"Saya maklumi kamu. Tapi lain kali jangan sampai telat selama ini lagi, ya?" Pak Tio kembali menyerahkan kertas itu kepada Ratna. Perempuan itu tersenyum senang. Hah, senangnya mempunyai bos sebaik dan sepengertian Pak Tio.

Tapi lagi-lagi suara batuk pria itu menginterupsi Ratna. Lalu ia memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf, Pak, kalau Bapak nggak enak badan, istirahat aja. Apa perlu saya buatkan teh hangat?"

"Nggak usah, Rat," ia terbatuk lagi. "Cuma sakit biasa. Besok juga pulih."

"Oh yaudah, kalau gitu saya permisi dulu. Semoga cepat sembuh ya, Pak." Ratna membuka pintu ruangan, lalu tubuhnya seketika mematung di detik itu juga. Seorang laki-laki berdiri tepat di depannya, hendak masuk ke ruangan. Tubuhnya lumayan tinggi. Bahkan Ratna hanya mencapai bahu-nya saja.

Laki-laki menautkan alisnya dan menatap Ratna yang masih bungkam bak orang bodoh. "Bisa minggir? Kamu menghalangi jalan saya."

Gadis itu tetap diam. Masih menatap laki-laki itu dengan serius.

KOTA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang