Chapter V
Dalam Ilustrasi
Kau pernah bilang tak perlu membedakan, selamat tinggal dan selamat datang, keduanya tersirat dalam lambaian tangan.
—Sapardi Djoko Damono.
***
PENGHUJUNG BULAN maret. Memang tidak heran kalau di waktu ini, hujan tiba-tiba saja datang mengguyur seluruh Ibukota. Untungnya, Radin sampai rumah tepat saat guyuran hujan dan kilatan cahaya itu datang.
Dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar nyaring di ruang makan senderhana rumah mereka. Rumah bergaya modern dengan dua lantai yang hanya dihuni dua orang kakak beradik. Dengan ditemani tiga puluh tusuk sate ayam, teh hangat, dan dentuman gemuruh diluar sana, keduanya makan dengan tenang.
Sebenarnya Ratna sudah makan dua jam yang lalu, tapi karena yang Radin bawa ini makanan kesukaannya, Ratna makan lagi. Perempuan itu memang dikenal dengan perut karet, alias tukang makan.
"Kak, di kantor kakak ada lowongan nggak?" tanya Ratna, disela-sela acara makan malam dengan kakaknya.
Radin tentunya terkejut. Lantas, ia menurunkan kembali sesendok nasi yang tadinya ingin ia masukan ke mulut. "Kantor kakak lagi nggak buka lowongan, Rat. Emang kenapa?"
Ratna sudah menebak bahwa kakaknya pasti akan bertanya kenapa. Dengan santai, ia menjawab, "Aku mau kerja, kak. Habis bosen. Lagian 'kan lumayan uangnya bisa aku tabung."
Perempuan anggun berumur dua puluh tiga tahun itu memasang ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu serius, Rat?"
"Eng—engga, nggak," telapak tangannya dia gerakan ke kanan-kiri, "Kalau emang nggak ada, nggak apa-apa, kak. Nanti aku bisa cari sendiri."
"Adik kakak udah besar, ya, " Radin mengacak pucak kepada adiknya dengan satu tangan. "Perasaan baru kemarin kamu ngambek minta mainan."
"Kakak!" jawabnya gemas.
Radin menghembuskan napasnya. Tapi apa yang di dengarnya tadi sungguh jelas. Adik satu-satunya itu ingin bekerja. Ia berpikir untuk menyetujui keputusan Ratna. Lagipula, Radin rasa Ratna sudah cukup dewasa atas dirinya sendiri. Ia mengangguk. "Yaudah, kalau kamu emang mau kerja, silahkan. Kakak nggak ngelarang," katanya. "Tapi kamu harus inget, seburuk apapun kondisinya, pekerjaan kamu harus halal. Jangan bikin semuanya kecewa, oke?"
"Iya, kak Radin," pekik Ratna, seraya mencubit pipi Radin sekilas.
"Good girl."
***
Sesungguhnya Ratna bukanlah seorang gadis penyuka hujan yang diceritakan dalam novel atau film. Ia hanya seorang gadis biasa yang menyukai apapun yang menurutnya pantas disukai.
Contohnya melukis. Baginya, melukis merupakan satu-satunya alat saat mulutnya tak lagi bisa bersuara. Telinganya tak lagi bisa mendengar. Atau bahkan sampai matanya hanya bisa menangkap bayangan gelap.
Ratna juga bukanlah perempuan yang pandai menuliskan kata-kata. Merangkai puisi, sajak, atau jajaran kalimat yang diubah menjadi prosa. Bukan. Waktu kelas empat SD, Ratna pernah mendapat tugas untuk membuat puisi. Ia membuat itu semalaman sampai larut malam. Besoknya, ia bertanya pada Radin mengenai puisinya itu.
"Wah, bagus banget, Rat, aku suka. Kamu pinter, deh."
Jawaban Radin itu masih terekam jelas di pikirannya sampai sekarang. Padahal kenyataannya, waktu dinilai oleh guru, puisinya mendapat nilai C.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOTA KITA
ChickLitPergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di universitas ternama adalah impian Ratna sejak dulu. Tujuannya hanya belajar dan mencoba untuk hidup mandiri dengan jauh dari kedua orang tuanya. Hanya itu. Tapi di kemudian hari, Ratna tidak menyangka bah...