10. Akhirnya Kembali

836 87 10
                                    

Rindu adalah pemaaf yang baik. Ia tak keberatan terluka untuk menunggu. Yang ada maupun yang semu.

—Surat Dari Praha

***

SEPERTI YANG kalian ketahui, seorang Radina Putri Adiyatma merupakan perempuan yang sangat workaholic dan cinta dengan pekerjaannya. Terbukti, selama menjabat sebagai redaktur pelaksana di Teen B—nama majalah tempatnya bekerja—Radin tidak pernah telat datang ke kantor semenitpun.

Para pegawai disini juga menyukai Radin; perempuan dengan sikap ramah dan mau berteman dengan siapa saja. Tapi di sisi lain, Radin merupakan orang yang tegas terhadap bawahannya di kantor. Seperti sekarang ini, saat ia menerima laporan bahwa mas Andi—si Fotografer utama izin tidak masuk untuk tiga hari kedepan karena istrinya baru saja melahirkan.

Okelah, tentu saja kantor memberikan izin. Tegas bukan berarti ia egois. Tapi, bukan itu yang sebenarnya menjadi persoalan utama.

"Emang si mas ganteng itu kemana sih, mbak?" tanya Echa, yang baru saja memberikan hasil laporan kerja minggu ini. Posisinya saat ini sedang duduk berhadapan dengan Radin, dengan dibatasi meja persegi panjang.

Butuh waktu beberapa menit untuk Radin mengecek, sampai ia menutup map kuning yang berisi kertas-kertas itu. "Saya juga bingung, Cha. Nanti deh, saya hubungin lagi."

Echa mengangguk-anggukan kepalanya enteng. "Mmm... yaudah deh mbak, saya balik kerja lagi. Permisi."

Pandangan Radin mengikuti kemana langkah Echa. Gadis bertubuh mungil itu membuka pintu lalu hilang ketika pintu kembali ditutup. Radin menghela napas beratnya. Pelipisnya ia pijat sejenak lalu kembali membuka mata.

Ponsel tipis itu ia ambil dari jarak beberapa centi. Jarinya mengentuk-ngetuk meja pelan, tampak menimang. Kemudian, ia mulai mengetikkan sebuah pesan untuk seseorang. Raut wajahnya tampak sangat serius—dengan kening berkerut, dan alis yang hampir menyatu.

Radin: tiga hari kamu hilang tanpa ada kabar, tanpa kejelasan. Kamu bikin aku khawatir, tau nggak.

Radin: oke, aku ngerti kalo kamu mungkin sibuk sama kuliah. Tapi biar gimanapun, aku ini atasan kamu. Mas Andi nggak masuk untuk tiga hari kedepan, sementara besok harus pemotretan untuk majalah edisi terbaru. Si bos nanyain kamu terus. Kalau kamu nggak bisa tanggung jawab sama kerjaan kamu, mending dari dulu nggak usah kerja. Atau kamu memang udah nggak butuh gaji?

Setelah pesan barusan berhasil terkirim, Radin merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa seperti ini? Sungguh, bukan seperti Radin yang biasanya. Apa kata-katanya itu terlalu kasar? Yang jelas, Radin jelas tau itu kesalahan.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Hatinya merekah, senang bukan main. Orang itu membalasnya.

<Bisa kita ketemu? Café Oranje, jam tujuh. Aku mau ngomong sama kamu.

Perempuan itu menghela napas panjang. Berpikir, apa mungkin ia harus berkata kasar dulu, baru orang itu akan menanggapi?

***

Tak ada yang jauh berbeda dengan café Oranje malam ini. Hanya saja, tidak begitu padat seperti saat terakhir kali Ratna dan teman-temannya berkunjung. Pelayan-pelayan dengan seragam berwarna oranje sibuk kesana-kemari mengantarkan pesanan ke meja-meja pelanggan.

Radin memerhatikan saja. Barulah kemudian salah seorang pelayan menghampiri mejanya dan meletakan dua secangkir kopi hitam yang aromanya khas. Setelah mengucapkan "terima kasih", pelayan berseragam dengan ikat kepala bercorak batik—seragam khas untuk pegawai Oranje—pergi meninggalkannya.

KOTA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang