Trililililit Trilililililit
Nada telpon terdengar dari belakangku.
Cowok yang tangannya menjambak rambutku kasar mengeluarkan ponselnya, menerima panggilan mendadak yang membuatku bisa bernapas lagi setelah mendengar perintah bahwa dia akan membunuhku. Mataku melirik Rayan, tangannya masih di ikat, mulutnya masih disumpal.
Tapi tidak dengan matanya, kami masih bertatapan. Tatapannya selalu lebar kali ini, otot di lehernya terlihat setiap dia berusaha untuk memberontak. Rasa bersalah mengembang di dadaku, kenapa mereka harus nyekap dia juga sih? Kenapa gak aku aja ?
"Jangan sekarang? Oke, gue bawa kesana aja " cengkraman cowok ini mengencang bersamaan dengan selesainya dia menghubungi entah siapa.
Aku hanya bisa meringis, berusaha menahan tangis yang dari tadi sudah ingin menyeruak keluar. Campur aduk antara takut dan sakit
Dia menarikku agar berdiri "Jalan, keluar ! " Tangannya menarikku kasar keluar rumah kecil Rayan.
"Rayan ! " Teriakku yang membuat cowok kasar ini malah menyekap mulutku dengan tangannya.
Rayan gimana ? Rayan gak ikut? Aku... bisa apa kalau gak ada Rayan?. Aku mencoba mengelak untuk dituntun olehnya, tapi yang kudapat malah jambakan yang kian mengeras di kepalaku.
"AHHNNNGGG! MHNMMM ! "
Teriakan Rayan terdengar sampai luar. Membuatku merinding, inikah hari terakhir dalam hidupku? semengerikan inikah? Aku tidak pernah membayangkan bakalan punya hari kematian sekelam ini. Mimpiku itu mati dirumah, dengan tenang. Bukannya di bunuh dengan berbagai macam senjata yang mereka punya.
Dorongan kasar dari tangan yang tidak punya hati itu membuatku tersuruk ke dalam mobil Juke putih ini, dan tanpa bisa aku mengelak tanganku diikat dengan kencang "Jangan berontak, atau pacar lo gak selamat "
"I-i..iya.. " Dia memukul bahuku, menyuruhku duduk manis di dalam mobil.
Pintu dibanting keras olehnya, dan dengan cepat dia menyalakan mesin mobil. Membawaku ke tempat 'eksekusi'.
Terlebih lagi, dalangnya adalah Bimo. Mantan pacar sekaligus saudara beda ibu denganku.
____
Perjalanan terasa cepat sekali, padahal memakan waktu satu jam lebih. Di mobil tadi aku sama sekali tidak bisa melakukan apapun, tanganku di ikat meskipun aku masih diperbolehkan bicara.
Tapi buat apa bisa bicara kalau mengaduh aja pistol langsung mengarah ke wajahku.
Keringat dingin membanjiri tubuhku, kepalaku pening, pergelangan tanganku sakit. Yang paling penting, aku takut. Apakah Bimo bakal langsung bunuh aku nanti? Aku belum meminta maaf ke semua orang, Aku belum nonton konser Justin Bieber, Aku belum bilang selamat tinggal ke kakak kembarku, Aku... belum bertemu ayah..
Please, aku belum mau hilang hari ini. Apa harus aku mengemis ke Bimo agar tidak membunuhku?. Atau jadi budaknya agar bisa terbebas dari semua ini?
Entahlah.
Mobil sampai di sebuah lapangan basket indoor, aku menghela napas panjang. Parkiran sepi, hanya ada satu mobil yang sangat aku kenal. Yaitu mobil Bimo, dan selain itu tidak terlihat siapapun lagi disini.
Berapa persen peluangku untuk kabur dari sini ?.
Degup jantungku mengencang bersamaan dengan keluarnya cowok yang tadi mengantarku dari mobil, dan dia dengan sengak membuka pintu di sebelahku "Turun " Ujarnya, melipat tangannya di depan dada.
Aku tidak bergerak, hanya diam. Menggelengkan kepalaku perlahan, padahal aku tau pasti bakal di tarik kasar lagi .
Dan benar saja, dia mencengkram lenganku sangat kencang. Sakit banget "Lu nurut kenapa sih, ngerepotin tau ga?! "
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving The Wrong Guy
Ficção Adolescenteapa jadinya kalau aku punya hubungan dengan anak ter-nakal di sekolah?