Bab 17 - Kenapa? (Tian POV)

1.1K 64 23
                                    

Bab 17 – Kenapa? (Tian POV)

            Gue kabur darisana. Kabur ke atap yang nggak ada orangnya kayak seorang pengecut yang ketauan bersalah. Gue perhatiin kepalan tangan gue yang bergetar hebat nggak tahan pengen nonjok muka Fandi seandainya gue nggak sadar kalau gue jadi pusat perhatian.

            Lagi-lagi gue lepas kontrol. Ini kedua kalinya gue nggak bisa ngendaliin emosi didepan umum. Dan dua-duanya pasti untuk masalah yang menyangkut Egi. Setelah gunung emosi gue meletus tadi, gue kabur. Gue perlu tempat untuk mendinginkan kepala gue sebelum gue bener-bener bikin muka Fandi ancur.

            Gue tutup mata, merasakan hembusan angin yang membantu gue untuk menyingkirkan amarah. Diiringi dengan mata yang tertutup ini, gue alihkan ingatan gue tentang omongan Fandi menjadi kenangan-kenangan lain yang jauh lebih indah. Contohnya ingatan gue tentang Egi waktu dia senyum, waktu dia ketawa.

            Saat gue siap, perlahan gue membuka mata. Butuh waktu beberapa detik buat gue sadar kalau ini bukan mimpi. Bukan, ini bukan hanya khayalan gue tapi tiba-tiba sosok Egi ada didepan mata gue waktu gue buka mata.

            “Kok lo disini?” Kata suara itu. Dan cuma dengan suara itu, api kemarahan dipadamkan dari hati gue. “Gue cari lo kemana-mana dan lo malah ada disini.”

            Gue nggak jawab, cuma memperhatikan sosoknya yang tadi cuma ada dalam khayalan gue. Kesunyian diantara kita diramaikan dengan bel tanda jam istirahat udah selesai. Meskipun bel udah bunyi, nggak satupun dari kita yang beranjak dari tempat kita berdiri seakan waktu terhenti cuma unuk kita berdua yang lupa fungsi bel tanda masuk pelajaran.

            Lama keheningan itu berlangsung sampai akhirnya Egi buka suara, “Gue udah denger kejadian di kantin tadi. Soal lo sama Fandi yang tiba-tiba cekcok. Kenapa? Yang gue denger karena Fandi ngejelekin gue? Iya?”

            Lagi-lagi gue nggak jawab. Sebenarnya gue lebih berharap Egi nggak tahu apa-apa. Lebih baik dia nggak tahu dan nggak peduli. Semakin dia tahu, semakin dia peduli sama apa yang gue lakuin buat dia, semakin susah buat gue nyembunyiin perasaan ini.

            “Kenapa lo ngancem Fandi karena gue? Kenapa lo mesti berantem karena gue?”

            “KENAPA LO BANYAK TANYA?! NGGAK BISA APA LO DIEM DAN NGEBIARIN GUE?! TERSERAH GUE MAU NGAPAIN.”

            “Tapi ini ada hubungannya sama gue!” Sentuhan lengan kanan Egi di pundak gue lagi-lagi berhasil melelehkan amarah gue yang sedetik tadi memuncak lagi. “Gue cenger ceritanya. Gue tahu apa yang terjadi. Justru gue berterimakasih banget karena lo ngebelain gue. Tapi yang gue nggak ngerti itu cuma, kenapa lo ngebelain gue?”

            Shit, lagi-lagi mulut gue terkunci ketika dipojokkan. Andai dia tahu kalau gue pengen banget bisa jawab pertanyaan ini dengan lepas. Jawabannya karena gue suka lo, karena gue nggak suka sama orang yang ngejelekin lo apapun alasannya. Andai saja bisa diucapkan semudah itu.

            “Nggak penting buat lo.”

            “Penting! Karena gue selalu penasaran sama apa yang lo pikirin. Karena gue selalu kepengen tau apa arti kebaikan lo selama ini.”

            Gue tatap wajah Egi yang memerah mungkin diakibatkan penggabungan antara berbagai emosi seperti kesal, penasaran, sekaligus sedih. Ya, ada perasaan sedih di kedua mata Egi meskipun gue nggak tahu kenapa dia harus bersedih. Bibirnya terkatup rapat dan kedua mata Egi menatap gue tajam, menuntut jawaban.

            Semakin gue tatap mata itu, semakin besar keinginan gue buat membeberkan semuanya. Membeberkan alasan-alasan gue yang bisa membuatnya berantakkan. Nggak boleh, Egi nggak boleh tau. Perasaan gue cuma bakal jadi beban buat Egi dan buat yang lainnya. Cukup beban ini cuma buat gue aja.

            “Ternyata selama ini gue salah. Lo belum berubah!” Air mata perlahan jatuh dari mata Egi. Untuk pertama kalinya gue liat dia nangis, dan itu karena gue. “Lo masih dan nggak pernah ngebuka diri lo buat orang lain. Lo Egois!”

            Egi berbalik bermaksud pergi darisana dengan airmata yang masih mengalir di pipinya. Buru-buru gue tangkap salah satu lengannya sebelum dia benar-benar pergi darisana. Egi berhenti beranjak, tapi wajah dan tubuhnya sama sekali nggak berpaling kearah gue. Gue juga sama, wajah dan tubuh gue tetap menghadap langit meskipun tangan gue masih menggenggam lengan dia.

            “Lo bakal nyesel kalau lo tau alasan gue.”

            Nggak banyak yang terjadi setelahnya. Egi terisak sekali, dua kali, mengibaskan tangan gue sehingga dia bebas pergi dari tempat itu. Meninggalkan gue dengan semua jawaban yang cuma bisa gue bilang dalam hati.

Gue nggak bisa bilang karena gue tahu lo bakal nyesel. Gue tahu apa yang bakal terjadi karena gue tahu sifat lo. Lo bakal merasa bersalah sama gue. Lo juga bakal merasa bersalah sama Cesar. Lo bakalan berada di posisi nggak enak. Lo nggak bakal mengabaikan perasaan gue dan juga perasaan Cesar sehingga pada akhirnya lo nggak bakal memilih dan justru mengasingkan diri dari kita semua. Biarlah semua jawaban itu tetep dalam diri gue.

            Di dunia ini banyak pertanyaan “kenapa” yang tidak terjawab dan hanya menyisakan tanda tanya di benak orang yang bertanya. Ada banyak alasan yang tidak bisa diutarakan ada banyak alasan yang hanya terkubur didalam hati dan dibawa sampai mai.

*****

----------------------------------------------------------

Komen dan vote sangat dihargai dan diharapkan. cuma pembaca, komen, dan vote yang bikin aku semangat ngelanjutin tulisan ini :)

Next Chapter : Bab 18 - ........................... (Cesar POV)

twitter: @angelaftracta

------------------------------------------------------------------------------

Mau tulisan ini di "dedikasikan" untuk kamu? Atau temen? Pacar? Atau mau nama + Twitter kamu dimuat di "thanks to" di chapter akhir? Silahkan tulis nama, twitter/akun wattpad atau dua-duanya orang yang pengen kamu 'dedikasikan' di kolom komentar. Siapa tau next chapter cerita ini bakal di dedikasikan buat kamu :)

Amici, Amore, e Destino (Friends, Love, and Destiny)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang