Bab 21 – Realization (Tian POV)
Gue cuma lagi kebetulan keluar rumah untuk ngebuang sampah saat gue ngeliat Egi nggak jauh dari depan rumah gue. Gue melihat Egi, tepatnya dia sedang berada di rumah Kiran yang memang ada di depan rumah gue. Tampaknya Egi sedang berpamitan dengan seseorang dari rumah Kiran sebelum dia bisa melihat gue.
“Tian?” Egi langsung memanggil gue ketika menyadari kalau gue lagi ngeliatin dia juga. Nggak lama kemudian Egi berada tepat di depan gue, di teras rumah gue, sambil memegang sebuah buku tulis. “Lo nggak sekolah?”
Wajar aja Egi nanya kayak gitu. Sekarang jam 7.00, setengah jam lagi sebelum bel tanda masuk sekolah berbunyi. Egi yang berada di hadapan gue tampak sudah siap pergi ke sekolah dengan seragam putih abu-abunya. Sementara gue, gue bahkan masih mengenakan baju yang gue gunakan untuk tidur semalam. Kaus tanpa lengan dengan celana pendek bermotif loreng.
“Gue sakit.” Gue nggak bohong, gue emang ngerasa nggak enak badan sejak pulang dari rumah sakit membesuk Kiran. Sepertinya virus-virus di rumah sakit sukses menyerang daya tahan tubuh gue.
“Yah, gue pikir kita bisa berangkat sekolah bareng. Gue abis ngejemput buku pe-er gue yang dipinjem Kiran. Baru sempet kesini sekarang, soalnya ntar siang bukunya bakal dikumpulin.” Gue nggak menjawab dan membiarkan Egi celingak-celinguk melihat keadaan dalam rumah gue tanpa masuk kedalamnya. “Gue tau kalau lo tetanggaan sama Kiran, tapi gue nggak tau kalau rumah lo TEPAT didepan rumah Kiran.”
“Mau masuk?” Gue cuma berbasa-basi karena sepertinya Egi bakal menolak.
“Tapi kan bentar lagi jam setengah delapan.” Sesuai dugaanku, Egi akan pergi ke sekolah sebentar lagi.
“Oke.” Kata gue akhirnya. Gue baru aja balik badan untuk masuk ke rumah sebelum Egi ngeduluin langkah gue.
“Nggak jadi ah. Mendadak gue jadi males sekolah. Gue ikutan bolos sama lo boleh ya?”
Egi benar-benar mendahului langkah gue untuk masuk ke rumah. Bukan masuk melalui ruang tamu, melainkan masuk dari garasi jalan yang sama yang tadi gue lalui untuk keluar rumah.
Tidak ada yang terparkir di garasi selain sebuah motor 125 cc. Motor yang gue beli dengan uang tabungan gue. Motor yang bahkan belum sempat gue pakai meskipun sudah beberapa bulan motor ini mendekam di garasi.
"Gue nggak tahu kalau lo ternyata suka motor.” Kata Egi seakan-akan bisa membaca apa yang ada dalam pikiran gue.
“Gue nggak terlalu suka motor.” Kata gue sambil menatap motor berbodi merah itu. “Gue cuma suka kecepatan.”
Kecepatan yang mungkin bisa membawa gue kabur dari dunia gue yang sekarang. Ah, mungkin sekali-kali gue harus keluar untuk mencoba seberapa cepat motor ini bisa ngebawa gue.
“Masih banyak hal yang gue nggak tau soal lo ya.” Kata Egi sambil tersenyum. Sekarang kita udah ada di salah satu bagian rumah. “Tapi gue masih inget kalau lo suka main piano.”
“Mau minum apa?”
“Apa yang ada aja.”
Gue langsung ke pantry melihat minuman apa yang tersedia. Tetapi gue nggak nemuin apa-apa selain air putih. Baik teh maupun kopi habis, gula juga habis. Sirup juga nggak ada atau tepatnya kita nggak pernah menyediakan sirup disini.
Sejujurnya, tidak pernah ada tamu yang datang ke rumah ini. Tidak sejak Mama disemayamkan disini. Rumah yang banyak didatangi orang saat Mama disemayamkan, berubah menjadi rumah yang tidak pernah didatangi hanya dalam beberapa hari. Paling cuma tukang pos yang kadang datang membawakan paket, atau pembantu rumah tangga yang datang pagi hari dan pulang sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amici, Amore, e Destino (Friends, Love, and Destiny)
Roman pour AdolescentsCesar, anak basket yang easy going, super, jelas-jelas tipe yang bisa bergaul dengan siapa saja. Ragil, cowok cute, jutek sama cewek, alasan sebenernya karena dia selalu canggung dideket cewek. Tian, cowok cool, pendiem, dengan segudang masalah. Mer...