Darrel memasuki ruang dokter spesialis hati, mungkin jika ia bertanya terlebih dahulu, bakal dipastikan jika semuanya aman-aman saja.
Dia sengaja untuk pergi ke rumah sakit yang berbeda dengan Tiffany, karena ia takut jika akan ketahuan oleh perempuan itu.
"Pagi dok."
Dari penampilan dokter yang di hadapan Darrel, sangat terlihat dokter itu tidak terlalu tua. Membuat Darrel mengembuskan napas lega.
Untung gue ga bawa Tiffany ke sini. Darrel berujar dalam hati.
Dia tak mau jika Tiffany dirawat disini dan akan bertemu dokter muda ini setiap hari.
Dokter itu memandang Darrel, seketika dia membulatkan mata. "Darrel? Ngapain lo kesini?"
Darrel pun sama terkejutnya. "Om Daniel? Kerja disini?"
"Jangan sebut gue om, sebut gue kakak," Daniel mendelik tajam. "Jadi, mau apa lo kesini?"
Darrel menggaruk kepalanya yang tak gatal, memandang adik dari ayahnya yang mengenakan jas dokter walaupun umurnya masih dua tujuh.
"Mau nanya tentang donor." Ucap Darrel gamblang.
Daniel yang sedang duduk bersandar di kursinya segera menegakkan tubuhnya, dia menatap Darrel seakan lelaki itu sedang bercanda. "Lo serius?"
Darrel mengangguk lalu jari tangannya membentuk huruf V, "ayolah kak, kasih tau."
"Ehm," Daniel berdeham. "Sebelumnya gue tanya dulu, lo mau donor buat siapa?"
Lagi-lagi Darrel salah tingkah. Dia duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Daniel sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Apa harus kasih tau namanya?"
"Oke Rel, santai aja," Daniel terkekeh. "Oke kita mulai. Tidak mudah untuk memperoleh donor hati, apalagi yang benar-benar sesuai. Ini bisa memakan waktu beberapa hari, bahkan bulan. Dokter akan berusaha mengatasi komplikasi akibat gagal fungsi hati selama masa tersebut,
"Pada donor hidup biasanya hati yang diambil tidak boleh lebih dari 60 persennya, kalau donornya anak-anak maka jumlah yang diambil lebih sedikit. Hati yang tinggal 40 persen ini cukup aman dan akan tumbuh kembali hingga ke volume normal selama 6 bulan - 2 tahun, jadi tak usah takut menjadi donor hati." jelas Daniel, sedangkan Darrel mendengarkannya dengan seksama.
"Seseorang yang ingin mendonorkan hatinya harus melakukan beberapa pemeriksaan dan dinyatakan sehat, yaitu tidak memiliki penyakit menular, penyakit yang bisa mengancam jiwa serta memiliki tubuh dan jiwa yang sehat." Jelas Daniel lagi.
Darrel mengangguk-anggukkan kepalanya, yang ingin Darrel pertanyakan adalah, apa hatinya cocok dengan Tiffany.
***
Tiffany membuka kelopak matanya, dan mendapatkan dirinya sedang terbaring di kasur kamar inapnya. Papanya yang melihat Tiffany sudah sadar, segera mendekati perempuan tersebut.
"Sebaiknya kamu pikirkan resiko yang dilakukan olehmu. Dan juga, Tif, pertemuan selanjutnya papa tidak memperbolehkan kamu melakukan perbuatan nekat seperti semalam." Ucap papanya lalu beliau pergi keluar dari kamar inap Tiffany.
Tiffany meringis, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, setaunya dia sedang berjalan-jalan keliling rumah sakit ditemani oleh Rafa.
"Gue heran, kenapa rumah sakit setiap malem tetep aja rame," ucap lelaki berambut coklat acak-acakan disebelah Tiffany. "Padahal, serem."
Tiffany terkekeh kecil, dia melangkah pelan di lantai koridor rumah sakit, tanpa mengenakan alas kaki. "Ya mungkin emang takdirnya kali." Kata Tiffany enteng.
Rafa mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian terjadi hening beberapa saat, seperti yang terlihat, mereka tak jadi kabur. Dikarenakan Tiffany menolak ajakan itu, dan yang Rafa khawatirkan adalah jika berpapasan dengan ayah Tiffany nanti. Bagaimana reaksi beliau jika melihat anaknya yang sedang ditemani cowok sepertinya, dan bukannya pergi ke kamar inap melainkan berjalan-jalan.
"Lo kenal Kania?" Tanya Rafa, sungguh, dia sangat penasaran sekarang.
Tiffany menoleh kaget, bagaimana Rafa kenal Kania. "Ya, dia temen sekelas aku, dan calon saudara tiri."
Oh, pantas saja. Rafa memandang perempuan disebelahnya, sungguh perempuan bodoh, wajahnya pucat karena kekurangan cairan, dan dengan bodohnya dia melepas jarum infus begitu saja.
"Lo pucet."
"Apa? Aku ga denger."
"Lo puc--" sebelum menyelesaikan omongannya, perempuan disebelah Rafa terhuyung. Untung saja lelaki itu menumpunya sebelum perempuan jatuh ke lantai yang dingin.
Rafa segera mengalungkan lengan Tiffany di lehernya, sungguh merepotkan. Rafa mengembuskan napas jengah. Agar memudahkan membawa Tiffany, lelaki itu segera memangku Tiffany, untungnya berat badan perempuan itu tak terlalu berat.
"Ngerepotin banget ni cewek." Gerutunya, padahal niatnya kesini hanya untuk memenuhi janjinya saja.
Dengan hati-hati Rafa segera membawa Tiffany ke kamar inapnya yang terletak tak jauh dari tempat ia berada.
Setelah memakan waktu beberapa menit, dengan susah payah Rafa membuka pintu kamar inap. Dan tampaklah papa Tiffany yang terkejut dan juga kedua perempuan di belakangnya.
"Tiffany!" Papa Tiffany segera memangku tubuh putrinya, lalu membaringkannya di kasur. Papa Tiffany memencet bel darurat. Dan tak lupa, beliau mengucapkan 'terima kasih' kepada Rafa karena melindungi putrinya.
Tak lama, datanglah seorang dokter dengan beberapa suster di belakangnya.
Mungkin tugas Rafa disini sudah selesai, lelaki itu segera bergegas keluar dari kamar inap Tiffany.
Lamunan Tiffany buyar ketika mendengar suara derit pintu, ia menoleh pada asal suara, dan tampaklah Darrel yang kesusahan membawa boneka teddy bear biru berukuran jumbo.
Bahkan kepala lelaki itu nyaris tak kelihatan. Dan itu membuat Tiffany terkekeh geli.
Darrel menaruh boneka itu di sofa, membiarkan boneka yang besar itu dengan posisi duduknya. Dan lelaki itu berjalan mendekati Tiffany.
"Oh itu buat lo," Ucap Darrel sembari menunjuk teddy bear yang ia taruh tadi. "Omong-omong lo suka warna biru 'kan?"
Tiffany mengangguk, wajahnya bersemu karena malu. Perempuan berambut coklat dan berwajah manis itu berterima kasih pada Darrel, sedangkan lelaki itu duduk di sebelahnya.
"Nope," ujar Darrel halus. "By the way, Tif. Golongan darah lo apa?" Tanya Darrel. Setelah mendengar penjelasan dari omnya kemarin, bahwa golongan darah berpengaruh pada proses pendonoran, karena jika golongan darah itu berbeda atau tidak cocok maka akan terjadi penggumpalan darah.
"A, kenapa emang Kak?" Tiffany bertanya.
Yha ga sama, gue B. Darrel menghela napas panjang. Dia menepuk kepala Tiffany lembut. "Gapapa kok." Lalu tersenyum hangat pada perempuan di hadapannya.
a.n
hai guys! Maaf ya ini late update banget, soalnya, nyarinya susah btw. HEHE, baca juga ceritaku yang baru judulnya Dimension Heart.
Thanky (;
KAMU SEDANG MEMBACA
Comparable
JugendliteraturBagaimana jika, seorang Darrel yang terkenal dengan sebutan 'player' rela mengubah perilakunya hanya karena Tiffany, perempuan yang batal ia jadikan target. Tapi, walaupun Darrel mengubah perilaku nya, tetap saja hukum karma yang sepadan akan diberi...