Chapter 18 - Kenyataan Yang Sulit

9.8K 643 12
                                    

Sepulangnya Darrel dan Bayu dari kamar inapnya. Tertinggal lah Tiffany sendiri, merenungi apa yang dokter dan papanya bicarakan semalam. Tiffany merasa takut.

"Gumpalan lemak pada hatinya semakin menutupi jalannya darah menuju hati. Akibatnya, dia akan mengalami pembengkakan di kakinya. Untuk mengetahui perkembangannya, lebih baik Tiffany sementara dirawat dulu disini." Jelas dokter itu pada pria paruh baya dihadapannya.

Papa Tiffany mengangguk. "Terima kasih dok." Lalu dokter itu meninggalkan ruangan Tiffany. Papa Tiffany mendekati Tiffany yang tertidur, sebenarnya dia hanya berpura-pura.

Papanya mengelus pucuk kepala Tiffany. "Tifa, papa tau kamu kuat. Tolong bertahan, tinggal kamu satu-satunya yang berharga setelah mama kamu pergi. Jangan tinggalin papa seperti mama dulu."

Tiffany merasa ... sesak.

Satu tetes air yang hangat di tangan sebelah kirinya. Lalu terdengar isakan kecil. Papanya menangis. Tiffany tak pernah melihat papa menangis setelah mamanya meninggal.

"Papa bakal lakuin apapun yang terbaik untuk kamu. Tapi tolong jangan tinggalin papa." Ucap papanya pilu. Lalu Tiffany merasakan sesuatu menempel di dahinya.

Lalu suara derap langkah kaki terdengar, semakin lama semakin kecil. Perlahan Tiffany membuka kelopak matanya, melihat papanya sudah tak berada di sebelahnya lagi.

Dia duduk menyender. Lalu menahan air matanya, sesak rasanya mengetahui papa begitu sayang padanya. Dia pikir papanya hanya mementingkan pekerjaan saja.

Tiffany memilin jari tangannya, dia melihat ke kaki kirinya yang mulai membengkak. Warna kulitnya juga sekarang sudah tak seperti dulu lagi, kulitnya lebih ke warna kuning pucat.

Padahal baru satu hari ia dirawat, tapi kenapa efeknya bisa bertambah separah ini.

Bunyi derit pintu terdengar di gendang relinga Tiffany, dia mendongak. Tersenyum melihat Liora dengan sekantung plastik yang ia bawa.

"Masuk Lio." Ajak Tiffany. Lalu perempuan itu masuk dan menaruh kantung plastik yang ia bawa di nakas.

"Makasih ya Lio, tau darimana aku dirawat disini?" Tanya Tiffany.

Liora yang sedang mengedarkan pandangannya menoleh. "Tau dari temen kamu yang cowok, Bayu, iya 'kan?"

Tiffany mengangguk. "Sore-sore begini, kamu kesini sama siapa?"

Liora tersenyum. "Sama kakak cowokku, mau dikenalin ga? Lumayan lho." Lalu dia terkekeh.

Tiffany menggeleng. "Ada-ada aja."

"Yha daripada kamu digantung melulu sama kak Darrel. Kakakku juga baru kelas dua belas." Celetuk Liora.

Tiffany tersenyum pahit. "Lah kamu jadi kayak mbak-mbak SPG aja sekarang."

Raut wajah Liora berubah serius. "Sebenernya kamu sakit apa Tif?"

Tiffany menggeleng, ia belum sepenuhnya percaya pada Lio. Liora tersentum lalu menggenggam kedua tangan Tiffany. "Percaya sama aku Tif. Aku ga bakal kasih tau."

Tiffany tersenyum masam. "Sirosis hati, aku turunan dari Mama."

Liora menganga kaget. Dia menepuk pundak Tiffany. "Sabar ya Tif, aku tetep disini kok." Lalu Liora tersenyum

"Tapi sekarang aku butuh transplantasi, tapi belum ada. Soalnya sirosis aku udah parah."

Liora mengangguk sendu. "Mungkin nanti ada. Bertahan ya Tif."

Suara dering handphone milik Liora berbunyi, perempuan itu melihat caller id lalu membuang napas jengah.

"Kenapa sih kak?" Tanya Liora sebal.

"Siapa Yo?" Bisik Tiffany.

"Kakak." Balasnya berbisik.

Tiffany mengangguk lalu memperhatikan Liora yang sedang menelepon.

"Yah Tif, masa aku dipaksa pulang sih. Nanti kalo ga pulang, bakal di tinggal sama kakak." Kata Liora menatap Tiffany, merasa tak enak.

"Yaudah pulang aja Lio, gak apa-apa kok." Ucap Tiffany.

Liora menatap Tiffany ragu. "Bener? Serius?"

Tiffany memutar kedua bola matanya. "Iya, sana gih. Makasih ya udah nemenin."

Seperginya Lio dari ruangannya. Tiffany memainkan handphonenya. Satu notifikasi pesan berbunyi. Dia membuka pesan itu yang dikirim oleh Bayu.

Bayu: Udah baikan Tif?

Tiffany: Udah Bay(: makasih ya udah jenguk tadi.

Keadaan berbanding terbalik dengan apa yang ia tulis di pesan tadi, nyatanya ia akan dirawat di rumah sakit untuk beberapa bulan ke depan.

Tiffany mengembuskan napas kasar. Seandainya mereka tahu jika apa yang terjadi pada Tiffany. Mana mau orang berteman dengan perempuan penyakitan sepertinya.

Kenyataan memang lebih sulit.

***

"Lio! Yo! Yo! Tunggu bentar." Darrel membungkukkan badannya, mencoba mengatur napasnya setelah berlari dari lantai dua ketika melihat Liora yang berada di lantai satu.

Liora memandang Darrel heran, dia bingung kenapa Darrel memanggilnya. Sebelumnya dia tak pernah mengenal Darrel secara resmi.

"Lo temen Tiffany 'kan?" Tanya Darrel setelah mengatur napasnya.

Liora mengangguk. "Iya tapi baru kenal."

"Lo tau ga penyakit Tiffany itu apa?" Tanya Darrel dengam nada yang serius.

Bimbang, satu kata yang ada di otak Liora. Antara memberi tahu dan tidak. Dia sudah berjanji untuk tak memberi tahunya. Dia mengembuskan napas lalu menggeleng.

"Please Liora, gue harus tau." Darrel memohon kali ini dia memang serius dengan perasaannya. Hanya saja, belum ada waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.

Liora menggigit bibir bawahnya. Dia menatap sekeliling, sepi. Mungkin ia harus memberi tahu. "Sirosis hati, kak. Dia sekarang lagi cari donor."

"Makasih ya Liora. Makasih banget. Gue mau ke Tiffany dulu ya." Ucap Darrel, Liora mengangguk.

Selama perjalanan, pikiran Darrel berkecamuk. Sirosis hati itu penyakit hati jangka panjang, sejak kapan Tiffany menderitanya. Jika sudah akan transplantasi berarti kondisi hatinya sudah sangat parah.

Darrel menaiki Jeep-nya lalu mengendarai menuju rumah sakit dimana Tiffany dirawat.

Apa ia harus donorkan sebagian dari hatinya?

Darrel juga belum mengerti tentang donor mendonor. ia takut jika Tiffany mengetahui ini dia akan terkejut.

a.n

Maaf banget kalau ini pendek banget. Banget. Banget. Diusahain cepet update ya, minggu depan udah uts soalnya T_T makasih banyak udah baca cerita ini dari awal. Ga nyangka udah 1k vote T_T.

oh iya, tunggu nanti april ya. Cerita baru bakal publish, yay cogan bertambah!

Byee!







ComparableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang