2. Dendam kebencian

160 9 13
                                    

Awalnya aku tidak begitu menyukai suasana kelas baruku dan belum begitu mengenal teman-teman baruku, selain itu faktor yang membuatku tidak nyaman di kelas baruku adalah aku terpisah dengan kedua sahabatku, aku hanya sekelas dengan Nike, sedangkan Ria sekarang duduk di kelas VIII B dan Elvira duduk di kelas VIII C. Selain itu, hal yang membuatku kesal adalah aku dipertemukan dengan Sintia dan Diana, mereka adalah teman semasa SD ku yang memiliki sifat kurang baik kepada ku.

Semasa SD aku dan Sintia tidak pernah akur, dia selalu mencari-cari kesalahan orang lain tanpa melihat kekurangan dirinya sendiri, yaaa bisa dibilang egois.

Walaupun kami sudah menginjak masa remaja rasa iri dan dengki Sintia kepadaku masih belum bisa hilang. Selama aku dan Sintia belajar dalam satu kelas yang sama, kami tidak pernah bersosialisasi.

Selain Nike sahabatku, aku juga dipertemukan dengan Clara, Diandra, dan Nadia. Meraka juga senasib denganku. Takdir mengubah semua harapan kita untuk bisa terus bersama dengan sahabat-sahabat kita.

Aku belum begitu akrab dengan mereka kecuali dengan Clara, aku dan Clara sudah berteman sebelum kami bertemu di kelas baru, karena Clara adalah teman satu reguku di ekskul Pramuka.
Pertama kali bertemu dengan Diandra dan Nadia, aku pikir mereka itu judes tapi ternyata diagnosa ku salah. Meraka sangat asyik untuk diajak ngegosip, dan langsung klop ketika kita berkomunikasi.

Kelas baruku akan terasa indah seperti di surga jikalau kedua makhlus kasar itu tidak berada di dekatku, siapa lagi kalau bukan Diana dan Sintia.

Hmmmm sekian lamanya aku di bully oleh mereka dari zaman aku SD sampai detik ini. Diantara kita bertiga, kami tidak pernah mengibarkan bendera perdamaian. Sebaliknya, alarm perang telah berbunyi dan bendera perang telah berkibar diatas tiang tertinggi. Harga diri dan martabatku akan aku jaga dan akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan.

Sekarang adalah waktunya untuk menunjukkan bahwa Noura yang sekarang bukan Noura yang dulu, Noura yang mudah disakiti, difitnah, bahkan dihina layaknya manusia yang tidak punya perasaan dan harga diri.

"Bruukkk....Ya Allah kenapa sih hidup aku sial banget!" Ucap Sintia sembari melemparkan tasnya diatas meja dan melipatkan kedua tangannya di dagu.

"Napa lo? Pagi-pagi udah marah-marah". Tanya Diana menepuk pundak Sintia.

"Nggak di rumah, nggak di sekolah, nggak di ekskul, kenapa sih nasib aku tuh selalu ketemu sama dia. Enek, jijik tau nggak sih liatnya, pengen muntah kalau ngeliat mukanya!" Ujarnya dengan muka berbalut kemarahan.

"Maksud lo Noura?" Belum selesai berkata, Sintia langsung membekap mulut Diana dengan tangan yang penuh dengan coretan rumus untuk persiapan uangan matematia

"Kalau ngomong nggak usah kenceng-kenceng juga kali!" Bisik Sintia di telinga Diana dengan gaya bicara yang merapatkan kedua rahangnya.

Dari awal aku sudah paham topik pembicaraan Sintia, tapi aku tidak mau meladeninya karena Sintia tidak menyebut namaku secara langsung. Kebetulan Diana keceplosan mengucap nama Noura, tentu saja hal ini membuat emosiku bergejolak ibarat bara api abadi yang tiba-tiba ditetesi minyak tanah.

Awalnya aku tidak mau membuat keributan di pagi hari, tapi tidak manusia di dunia ini dicaci maki tanpa dia membuat kesalahan.

"Braaakk...hey maksud kamu apa bilang kayak gitu ke aku, kalau kamu benci sama aku jangan cuma bisa nyindir dong, ngomong langsung berani nggak? Emangnya kamu doang yang enek, jijik, pengen muntah kalau liat aku. Nih dengerin aku ya, jangankan liat muka kamu, denger nama kamu walaupun cuma satu kata, rasanya itu najis mughaladah tau nggak?" Ujarku menggebrak meja dan melayangkan telunjukku ke hadapan muka Sintia.

Cinta Setangkai Bunga DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang