2. In That Day

175 13 9
                                    

"Sudah senja. " ,langkahku jelas turun melalui anak tangga yang entah berapa puluh tersusun di depan gedung besar milik salah satu rumah sakit ternama di Jogjakarta.

Sudah hari ke 2280 , aku bertahan di tanah kelahiranku dengan sekelumit sesal yang mengisi penuh dadaku yang sebelumnya memang sudah sesak menyimpan segala rasa disaat tak lagi mampu ku ungkapnya jelas.

Semua berubah tepat 2280 hari yang lalu. Di satu malam yang berat, yang sungguh tak ingin kuhadapi. Di satu tempat yang biasanya mampu menenangkanku , hari itu sungguh tak mampu.

----

Rendi , bisa ketemu nanti?

Ctik.. ctik..

Ini siapa ya?

From : 085431728xxx
Revan

Ctik ctik ctik
iya kak. Di mana?

Taman kota aja. Jam 4 sore.

"Aneh , kok tiba tiba ngajak ketemu.", tubuhku bangkit dari tempatku berbaring. Melirik pelan jam di sebelah kiri dinding kamar. Sudah pukul 15.35, tertera jelas di sana. Bersiap siap dan berangkat.

------

Dalam riuh tawa seluruh orang yang tengah menikmati indahnya taman kota. Aku hanya mengunci mulutku , diam dalam riuh ramai segala suka cita orang lain. Dengan tangan dingin, karena tegang akan bertemu kakak dari orang yang kusukai.

"Eh Ren.", seseorang menepuk pundakku cukup keras.

"Oh Kak Rev.", tubuhku sedikit tersentak, namun segera bersikap seakan tak kaget.

Dia mengambil posisi duduk di sebelahku , segera menyilangkan kakinya dan menempatkan tangannya di dalam saku.

"Langsung aja ya. Gue nggak terlalu suka basa basi.", katanya. Telingaku sedikit merasa aneh mendengar kata GUE yang terdengar begitu non formal ,dan seakan aku ini merasa seperti benar benar menjadi adiknya atau teman akrabnya.

"Emm.. ii. Iya kak.", sumpah ,rasanya jantungku mau copot, detaknya begitu kencang. Sampai ada resah yang memenuhi fikiranku.

"Kamu suka sama Yena.", sebuah pernyataan atau sebuah pertanyaan? Dia mengucapkannya tanpa melihatku yang telah shock hanya dengan satu kalimat singkatnya. Aku diam ,lidahku kelu , dan terasa mulutku ter lem. Tak mungkin bagiku langsung menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya apalagi pada abang dari orang yang kusuka.

"Nggak perlu ada jawaban juga. Karena gue udah tau jawabannya.", dia berkata , dengan kata yang semakin membuat bibirku terkunci serapat rapatnya.

"Gue tau lo beneran suka sama Yena. Dan gue ke sini cuma mau kasih tau kalo Yena bakalan pergi.", deg. Pergi? Kemana? Kenapa? Bagaimana bisa? Lidahku masih kelu berucap. Entah rasa yang mana yang kini tengah mengisi hatiku setelah tau Yena akan pergi.

"Nggak penasaran Yena mau kemana? Dan kenapa?" ,aku mengangguk pelan ,dengan tatapan yang hanya tega menatap tanah. Aku takut. Bukan takut akan berlawan bicara dengan Kak Rev, tapi takutku , dijauhkan raga oleh orang yang membuatku pertama kali mengenal cinta antara dua insan yang saling menaruh harap akan masa depan yang hendaknya mampu dilalui bersama.

"Yena bakalan pindah , ngedampingin Mama yang bakalan dirawat di luar negeri." ,aku hanya diam. Tak tau harus berkata apa. Sejauh ini memang tak ada kata yang mampu kuucap. Kosa kata yang ku kenal 17 tahun ini ,lenyap dan hilang dari otakku. Dia kosong. Yang ada di dalamnya hanya visualisasi senyum , dan tangis Yena saat bersamaku.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang