Kepastian

67 7 1
                                    

"Hah?", tanyaku bingung ,kepastian tentang apa pula yang ingin ia sampaikan.

"Bukankah di tempat ini juga kamu nunggu kepastian ? Sekarang aku juga nunggu kepastian di tempat ini , sama seperti posisimu 6 tahun silam!",seberkas silau bergeming di sudut matanya yang cukup bulat dan melempar tatap tajam.

"Sekarang ,waktuku Ana. Kamu Ana kan? Bukan lagi Yena. Itu keputusanmu. Kamu bilang bakalan berubah. Tapi nyatanya apa? Kamu sama. 100% nggak berubah dari saat kamu ninggalin Jogja.",katanya meninggi. Emosikupun ikut terpancing ,aku tak paham apa yang ia katakan

"Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti.", nadaku meninggi ,membuat pengunjung cafe lain mulai memperhatikan kami.

"Kamu bilang bakal lupain semuanya , bakal mulai dari awal. Tapi apa? Kamu masih sama.", aku menggigit bibir , memejam sejenak, mencoba menahan.

"Aku udah berusaha berubah. Dan aku udah berubah Mada!", seruku , disambutnya dengan senyum pahit.

"Berubah? Dengan masih diem diem merhatiin Rendi?",mataku membelalak kaget.

"Aku nggak pernah kayak gitu. Ada masalah apa sih kamu kok sampe kayak gini?", nadaku mulai menurun.

"Nggak perlu bohongin diri kamu sendiri. Aku hafal tingkah kamu.", diam. Hening sejenak merasuki kami. Penuh pemikiran yang ingin diutarakan tapi tak mampu mengungkapkan

"Aku udah bilang kan. Di pembukaan cabang rumah sakitku di Surabaya ,aku akan ngenalin kamu sebagai tunanganku ke semua rekan kerjaku. Tapi apa , kamu pergi ke Jepang. Dan yang paling parah kamu pergi sama Rendi." ,diikuti tawa getir yang memilukan

"Itu semua mendadak dan rumah sakit nunjuk aku.", dia menatapku tajam.

"Kamu pikir aku nggak? Aku udah bilang dari jauh jauh hari soal tanggal peresmiannya ,dan kamu bilang akan ngluangin waktu.", sebelum aku sempat menjawab dia memotong

"Kamu pikir aku nggak ditunjuk buat itu? Aku juga ditunjuk buat ke Jepang. Semua bilang lebih baik peresmian di undur , tapi kamu tahu alasanku apa? Hah?",aku menggeleng.

"Jelas kamu nggak tau ,karna kamu nggak mau ngerti. Aku bilang tunanganku udah luangin waktu di tanggal itu. Waktu dia berharga dan sulit buat bisa hadir di acara semacam ini. Terus aku suruh dokter lain buat wakilin aku hadir ke forum besok. Toh ,apalagi di rumah sakitmu yang megah mewah itu. Aku tau aku bukan prioritas kamu. Aku cukup tau kalo kamu nggak pernah anggep aku ada. Tapi sekali ini aja pikirin perasaan aku. Kamu bahkan lupain sesuatu yang penting buatku." ,aku diam , hatiku terasa sesak. Penuh dengan bekunya es keegoisan yang siap di cairkan kelopak mata.

"Sekarang. Aku serahin semua sama kamu. "

"Serahin apa ?", lirih suaraku ragu berucap.

"Kamu pingin kita tetep kayak gini ? Atau kamu ambil jalan lain. Walaupun kita tau kalo Rendi udah punya keluarga kecilnya.."

"Cukup.", kataku mulai menitikkan sebutir air mata yang mengundang mulurnya berhenti berkata.

"Sikap kamu hari ini aneh. Mungkin kamu sakit. Kita pulang aja.", tanganku menyabet sebuah tas yang dusuk manis termangu di kursi sampingku,dia menahan lenganku

"Bukan saat nya buat lari dari permasalahan Ana. Hadapi ,dan ambil keputusan mu!!!",nadanya kembali meninggi. Untuk pertama kalinya aku melihat emosinya meluap membuat wajahnya nampak begitu merah.

"Keputusan apa? Aku udah ambil keputusan bahwa aku tunangan kamu."

"Yakin kamu yang ambil keputusan itu?", mulutku bungkam. Menahan 1001 kata yang mungkin akan terucap sembarangan.

"Itu keputusan keluargamu kan? Bukan murni keputusanmu?", katanya seakan mendobrak hatiku

"Omong kosong apa yang kamu katakan?" , refleks tanganku mendobrak meja kencang , segera berlalu.

"Aku tunggu sepulang dari Jepang. Berikan keputusan final kutunggu.", langkahku kembali berpacu dengan detik yang terus menerus mengiring langkah berat ini.

-----
Tak ada pesan melalui malam yang tak membuat mata kantuk. Tak ada senyum ,hanya beberapa bulir air mata mengiringi mimpi. Papa nampak khawatir. Sesekali kudengar suara decitan pintu tua itu terbuka dari balik selimut tebal yang membungkus tubuhku yang dingin sepanjang malam. Koper masih berantakan belum sempat satupun yang dibereskan. Seperti tak siap diri ini menghadapi hari esok. Terlintas sekilas di pemikiranku, apa tak lebih baik ku menyusul tempat peristirahatan mama. Dengan demikian bukankah takkan kuributkan lagi masalah memilih pasangan hidup.

Yang teraneh dari ini semua , mengapa harus memiliki rasa cinta pada orang yang telah menyakiti? Padahal sudah ada yang hampir meminangku pasti.

Ting ting...

Selamat istirahat , fokus besok.

Nb
Maaf lama gk post ,sekalinya post dikit , hope you like it guys , semoga ada waktu luang buat nglanjutin..

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang