6. Dia Tunanganku

88 11 0
                                    

its me Yena.
Aku baru saja kembali , dengan sebuah smartphone merk korea yang kugenggam erat hasil panggilan Mada. Di sanalah mataku sepenuhnya tertuju pada sosok yang mengajarkanku arti cinta dan kecewa setelah Mada. Asal ia tahu. Sungguh tak mampu jelas kudefinisikan perasaanku hari ini. Jantungku menghujam rusuk keras sesaat setelah kulihat kembali wajahnya yang semakin menunjukkan gurat gurat kedewasaan dan tak mengurangi secuil pun ketampaan khas lelaki Jawa berwajah oriental itu. Namun ,berteriak pula hatiku atas apa yang terakhir kali ia goreskan hingga tak lagi mampu hatiku kembali sebagaimana awal ia dicipta.

"Hey , sorry ya lama.", kataku menghentaknya yang termangu menatap kaleng minuman dingin yang baru kuambil di mesin tadi.

"Iya nggak papa. Oh iya ini ketemu.", diserahkannya seuntai kalung yang tak asing bagiku. Lengkap dengan liontinnya yang nampak berkilau mungkin karena ia baru saja mengelapnya.

"Terima kasih.", aku menatapnya lamat lamat. Ada luka di sisi kalung itu. Mungkin ia juga merasa kan luka yang juga kurasa.

"Nampaknya ,kalung itu putus.", katanya lirih sambil menatap sendu kalung yang kugenggam.

Aku mengangguk pelan ,menyetujui perkataannya.

"Kalung itu cantik saat kau kenakan.", kepalaku mendongak. Dia memujiku? Apa aku tidak bermimpi? Apa dia masih sama dengan Rendi yang kukenal? Rendi yang akan memuji dan mengagumi setiap gerak gerik tubuhku?

"Emm.. Terima kasih.", jawabku sedikit merasa canggung.

"Liontinnya juga bagus. Anggun saat tergantung di lehermu." ,hatiku tersentak. Tak hendak satu kata apalagi kalimat yang keluar dari pita suaraku.

"Bukankah itu sebuah cincin?", pertanyaan yang kurasa tak perlu sebuah jawab ,ia telah tahu jelas bahkan persis apa jawabannya. Leherku kembali berolahraga dengan sebuah anggukan.

"Apa nama yang terukir di dalamnya..", aku memotong perkataannya bahkan sebelum ia selesai dan menutup mulut atas pertanyaannya.

"Iya , itu nama Mada. Nama tunanganku.", jawabku ketus dengan nada dingin yang notabene di titik itulah sungguh sesungguhnya hatiku yang paling terluka.

------
It's me Rendi
"Sungguh statusnya kini telah menjadi tunanganmu?", nadaku melirih. Rasanya telah hilang semua tulang penopang tubuhku. Aku lemas seperti tak lagi kupunya tenaga untuk melanjutkan menerima kenyataan bahwa hati yang ku ingin kini telah berlabuh dan telah menemukan dermaga yang tepat baginya. Dia kembali mengangguk. Hatiku rapuh ,dan seketika hancur seperti kaca. Setiap detail pecahannya menggores luka.

"Ah.. Betapa beruntung ia mendapatkanmu. Selamat ya.", Terakhir kali aku ingat ,ia nampak begitu marah dengan mata berapi api melempar tatap kepadaku. Malam itu. Malam yang dinginnya melebihi malam malam yang kulalui sebelumnya. Malam yang membuat ,malam malamku berikutnya terasa begitu menusuk hingga ingin ku meregang nyawa,agar tak kulalui masa yang begitu menyedihkan dan menyakitkan itu. Kau mungkin bahkan masih membenciku ,Yena. Namun entah bagaimana setelah 2285 hari memisahkan raga kita , wajahmu bahkan nampak begitu ramah seakan baru sekali ini kita bertemu.

"Sebelumnya. Maafkan perkataanku tadi." ,kata Yena yang membuatku terkejut. Tahukah kau Yena ,bukankah harusnya aku yang mengatakannya?

"Atas apa? Perkataan yang mana ?", aku bertanya bingung. Wajahnya berubah sendu. Bibirnya yang merah nampak sedikit pucat. Khawatir sudah mulai merambah isi hatiku detik itu.

"Saat aku berkata aku tak mengenalmu.", kata Yena lembut. Matanya bahkan tak ingin menatapku ,dia hanya menunduk ,menyaksikan jari jarinya bermain dengan sekaleng minuman dingin yang tak kunjung ia teguk habis isinya.

"Oh masalah itu. Lagipula benar ,aku belum mengenalmu sebagai dokter Ana." ,jawabku sedikit menyindir. Karena sungguh aku kecewa atas nama Yena yang kini beralih menjadi Ana. Namun ,bukankah seharusnya yang terlampau kecewa di sini adalah Yena?

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang