4. Dokter Ana

75 10 2
                                    

"Dokter.", suara renyah milik suster bangsal sebelah mengagetkanku yang sedang duduk sambil mengecek beberapa hasil checkup pasien pagi ini.

"Kenapa sus?", aku menjawab datar.

"Tahu nggak dok, bakalan ada dokter baru di bangsal VVIP. Dokter bedah sih katanya." , memang suster Sasa ini benar benar update soal berita terkini baik di lokal maupun internasional. Mulai dari masalah , tetangga yang berantem sama suaminya sampe masalah orang korupsi dia tau secara lengkap dan mendetail.

"Oh.",jawabku datar tak cukup tertarik dengan perkataannya.

"Kok cuma gitu sih dok jawabnya. Tanya kek siapa apa gimana gitu." , dia nampak kesal akan sikapku yang cukup dingin.

"Iya siapa?" , tanyaku mencoba menuruti keinginannya.

"Dokter An.. Ana apa siapa gitu lupa. Tapi dia itu dokter lisensi WHO yang udah jadi dosen muda." ,aku mengangguk pelan. Seperti pernah mendengar nama itu. Namun fikirku berlalu dalam sibuknya jadwal operasi hari ini.

"Udah dulu ya Suster Sasa , saya mau ada operasi jam 9 nanti. Saya permisi dulu.", kepalaku sedikit kuturunkan menandakan sopanku berpamitan padanya. dia membalasnya.

Langkahku lunglai berjalan di lorong rumah sakit yang nampak sunyi dengan bau khas obat obatan yang menyapa hidungku sebagaimana hari hari sebelumnya. Sisi kiri dan kanan yang nampak indah dengan dinding kaca sebagai pembatasnya. Nampak cantik menunjukkan gedung gedung pencakar langit yang nampak indah dengan bentuk bervariasi.

Yena , apa kabar. Kau tengah di sini. Bersembunyi di antara gedung gedung megah milik Jogjakarta. Entah untuk bersembunyi dari suka atau kecewa. Kuharap kau masih punya rasa yang sama walau kemungkinannya hanya 0,0001% bagiku. Ku harap bahkan kau telah melupakan sakit walau itu terdengar seperti pecundang. Aku tahu. Tapi apa yang mampu aku ungkapkan akannya.

------

"Udah siap?", oh iya it's me Yena.

"Bagaimana dengan dokter Ana sendiri?", tanya Mada menggoda.

"Apaan sih Mada. Yuk berangkat.", tanganku meraih tangannya. Tangan kiri yang salah satu jemarinya telah dilingkari sebuah cincin berwarna putih. Nampak indah, dan pasangannya. Terkait di sekitar leherku, tergantung di kalungku. Ia bilang itu nampak indah dan sesuai denganku.

Aku melangkah melalui ruang keluarga menemui papa yang tengah duduk tenang menghadap ke arah taman yang masih sama hijaunya seperti beberapa tahun yang lalu saat salah satu dari mereka baru kutanam dan kini sudah nampak rimbun akan daunnya.

"Pa berangkat ya.",aku mencium pipi kirinya yang sudah bergurat kasar tanda umurnya tak lagi belasan atau tiga puluhan tahun. Kini umurnya sudah setengah abad lebih 1 dasawarsa.

"Hati hati sayang.", dibalasnya ciuman di keningku. Laki laki hebat yang sekalipun tak pernah menggurat luka dalam sebagaimana laki laki lain yang datang dan pergi dari hidupku. Papa.

Langkah ku kembali menyusuri lantai ruangan itu. Nampak tergantung dan duduk foto bergambar seorang wanita yang dibilang tak cukup tua pantasnya. Digantungkan tasbih di lingkaran figoranya. Di taruh rapi kitab suci keyakinannya semasa hidup. Sebuah Al Quran terjemahan ditata rapi di sebelah kanan foto yang terduduk di meja.

"Mama , adek berangkat ya. This is my first day. Love you mom.", kulantunkan Al Fatihah 7 kali dan l mbut kukecup kaca penutup fotonya. Kutaruh kembali dan kini saatnya menghadapi kenyataan baru ditempat yang menggurat luka lama.

----

"Aku cuma bisa nganter sampe depan doang sayang.", kata Mada lembut sambil menyetir menatap jalan yang sudah banyak berubah sisi sisinya namun tak demikian dengan kenangannya.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang