9. No Memories

39 11 4
                                    

It's me Rendi

Hatiku tak cukup tenang ,meski angin mendesau pelan mencoba memberi ketenangan. Apa yang dilakukan Dini dengan Yena? Mengapa Dini mengajak Yena pergi? Ini sudah pukul 7 malam. Dan aku tak melihat bahkan bayangan Yena ada di rumah sakit ini. Aku juga sudah mencoba menghubungi Dini namun tak ada jawaban. Apa terjadi sesuatu pada mereka berdua?

Cemasku memuncak. Apa yang harusnya kulakukan detik saat ini. Aku merasa bodoh. Saatnya pulang. Aku berjalan melewati loby yang nampak lengang.

"Dokter.", seru suster Sasa. Langkahku berhenti.

"Ada apa ?" , aku bertanya,lemas.

"Ini ada berkas berkas milik dokter Yena. Katanya badannya kurang enak ,jadi dia ijin gitu dok. Nah dokumen ini harus udah ditanda tangani besok. Dokter mau nggak nganter? Ini sekalian alamatnya.", diserahkannya setumpuk dokumen bersamaan selembar kertas kecil kartu nama Ananda Rayna.

"Maaf ya dok ngrepotin. Makasih dok.", suster Sasa telah pergi sebelum aku sempat menyetujuinya. Ah.. Suster Sasa ini.

Aku kembali melanjutkan langkahku. Tanganku penuh dengan dokumen dokumen milik Yena. Bahkan untuk membuka mobil aku agak kesulitan. Tapi untuk Yena , aku rela melakukan apapun.

-----

Rumah ini terlihat sama. Tak ada sedikitpun yang berubah. Bahkan kenangan di tiap sudutnya masih terasa begitu hangat. Padahal sudah 6 tahun aku sama sekali tak mengunjungi rumah ini. Bukan karena aku tak berharap Yena kembali. Tapi aku takut. Takut kembali menyesali segala keputusanku dan mulai melupakan kenangan kenangan indah bersamanya.

"Permisi.", seorang satpam membukakan pintu gerbang.

"Ada yang bisa saya bantu Pak?", tanya satpam tersebut. Wajahnya menunjukkan dia sudah cukup tua.

"Dokter Ana ada di rumah?", satpam itu mengangguk.

"Tunggu sebentar ya Pak.", dia berlari kecil masuk ke dalam rumah. Tak lama ,ia kembali dengan senyum mengembang.

"Silahkan masuk Pak.", digesernya pintu harmonika yang lurus dengan pintu garasi.

"Terima kasih." ,aku menginjak pedal gas pelan. Memarkirkan kendaraan ku di depan pintu garasi yang tertutup.

Aku melangkah keluar , membuka pintu samping dan mengambil setumpuk dokumen.

"Assalamualaikum.", seruku di depan pintu rumah.

"Waalaikumsalam", sahut suara wanita yang lembut namun tak terdengar seperti biasa. Terdengar agak serak. Dia keluar dengan mata yang sembab. Hidungnya nampak merah.

"Kamu nggak papa?", refleks ,itu kata pertama yang kuucapkan tanpa berfikir panjang. kakiku melangkah masuk sebelum dipersilahkan,meletakkan seluruh dokumen yang kubawa di atas meja kayu. Segera mendekat ke tubuhnya ,dan menempelkan punngung tangan kananku ke keningnya.

"Kamu demam.", tubuhnya panas ,itu rangsangan yang didapatkan tanganku. Dia hanya diam ,membuat mataku jatuh ke dalam tatapannya yang begitu sendu. Dan di sana aku bisa benar benar merasa ada rasa yang menyakitkan. Matanya melempar pandang yang sungguh sungguh menunjukkan perasaannya tengah tercabik cabik. Ada luka dalam, dari dirinya. Tangannya meraih tanganku yang masih menempel pada keningnya. Menyingkirkan tanganku lembut.

"Aku masih cukup baik. Walau tak seutuhnya.",dia tersenyum getir kemudian mempersilahkanku duduk.

"Kamu udah minum obat?", tanyaku khawatir. Aku tak bisa menyembunyikannya walau telah kuusahakan. Dia mengangguk.

"Obat yang bagaimanapun nggak akan pernah bisa mengobati sakitku.", dia menunduk menatap marmer yang berwarna abu abu di bawah kakinya. Aku diam ,menunggu kalimat yang akan dia katakan selanjutnya.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang