10. No ,You Are Wrong

53 12 2
                                    

Its me Yena.

Hatiku bergejolak siang itu. Senja nampak tak jingga hanya karena Dini hadir memamerkan rasa cinta milik Rendi padanya. Pertemuan pertama kali setelah 6 tahun hanya kembali melukai hatiku Apa maksud ini semua? Sudah jelas jelas dulu dia tau perasaanku ,dan teganya kini ia berlaku demikian. Dasar.

Aku langsung pulang karena merasa pusing. Aku menelepon direktur untuk mendapat izin, dan diperbolehkan. Dalam teriknya siang itu , saat matahari dengan percaya diri menampakkan diri ,hujan malah datang merundung hatiku.

"Assalamualaikum , Pa adek pulang.", papa menurunkan koran yang ia baca , menatapku lamat lamat.

"Kok udah pulang dek?", tanya papa menyelidik.

"Aku pusing pa ,mau istirahat dulu aja.", aku melempar tasku di ruang tengah.

"Parah kah? Kamu udah makan?",Papa selalu saja khawatir dengan keadaanku. Sebesar apapun aku , aku akan selalu menjadi putri kecilnya. Itu yang selalu dia ucapkan padaku.

"Udah kok Pa , aku mau istirahat dulu ya.",langkahku menuntun melangkah naik ke atas kemudian merebahkan tubuh di atas kasur.

"Ah...", aku menutup mataku. Tulisan Rendi masih benar benar menjadi bayanganku. Kenapa Dini harus memamerkannya? Apa untungnya? Apa dia merasa puas? Kali ini Luka lama itu semakin terluka.

Tak lama setelahnya handphone ku berdering. Tanganku mencoba meraihnya , beberapa kali mengetuk layar dan terpampang , Ada sebuah pesan dari suster Sasa.

Saya dengar anda izin. Ada beberapa berkas ,yang besok harus sudah selesai ditandatangani. Jadi saya meminta tolong Dokter Rendi mengantarkannya.

Ctik.. Ctik..

Iya suster , terima kasih .

Aku diam. Berfikir sejenak. Mengapa harus Rendi yang mengantarkannya? Apa harus aku menatap wajah orang yang menyakitiku disaat kondisiku seperti ini. Ini menyakitkan Tuhan.

--------
Terdengar beberapa kali ketuk pintu. Membawa ragaku lemas turun melewati anak tangga dari kayu. Aku tau itu Rendi. Pak Jono memberitahukan. Iya satpam baru di rumahku.

Kami bertemu dalam tatap. Mungkin dia melihatku begitu menyedihkan. Ia datang bersamaan jantungku berdegup kencang. Dia menempelkan punggung tangannya pada dahiku. Dia terlihat khawatir ,namun hal itu semakin membuatku ingin menyingkirkannya dari hidupku. Apa semua yang dia lakukan ini hanya sandiwara agar aku tersenyum. Sudah jelas jelas dia mencintai Dini lalu mengapa dia harus melempar perhatian yang pada akhirnya semakin membuat hatiku teriris.

Setelahnya ,aku tak mampu menahan seluruh kecewaku. Aku melepas risauku ,walau tak sepenuhnya. Aku marah bersamaan ratusan bulir air mata yang jatuh menyusuri alur di pipi. Kuhadap Rendi. Namun mataku tak mampu menghadapnya. Wanita bodoh macam apa yang mengungkapkan rasanya di depan sang lelaki. Dan yang kutemui ,wanita bodoh itu lah aku. Amarahku bersulut sulut , mengingat rasaku yang sudah bertahan 7 tahun. Namun dengan segala amarah yang kuucapkan ini ,paling tidak ada unek unek yang keluar walau tak ada seperdelapan dari lukaku seutuhnya.

Aku berkata , sedangkan dia diam. Sesekali dia menatapku. Aku tak mampu mendefinisikannya. Dan saat sejenak aku muali kehabisan kata kata , dia memulai.

"Gimana kalau semua yang kamu bilang salah?", jawaban terakhir Rendi mencengangkanku. Nadanya terdengar begitu serius.

"Apa yang salah?", suara serak seseorang hadir di antara kami. Suara yang membuat kami berdua mengarah ke sumber suaranya. Dia bersandar di bingkai pintu yang terbuka lebar. Itu suara Mada. Mada ada di sini

"Mada?",aku berdiri. Mada melangkah ke arah Rendi.

"Apa yang salah hah? Bukannya emang kamu yang nyakitin dia?", dia menarik kerah baju Rendi. Nadanya terdengar marah.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang