13. All Day I See You

54 11 7
                                    

"Permisi ,dokter Rendi bisa dateng ke ruang direktur sekarang?", aku mengangguk

"Tunggu ya ,setelah saya menangani 1 pasien. Saya akan segera ke sana.", kini giliran suster Sasa yang mengangguk paham.

-----

Tok tok tok.
Punggung jari tanganku mengetuk pintu kayu yang lebarnya kurang lebih 2 meter itu. Terdengar suara berat dari dalam ruangan.

"Iya,masuk ",aku membetulkan posisi jas putih ku. Dan segera membuka pintu. Mataku tertuju pada orang yang duduk di hadapan direktur yang sedang menyapa kedatanganku

"Silahkan masuk dokter Rendi.",aku membalas tersenyum. Tangan direktur mempersilahkan aku duduk di sofa ruang kerjanya. Di samping Yena.

"Nah tujuan saya, memanggil dokter Rendi dan dokter Ana ke sini adalah untuk memberitahukan bahwa ada seminar internasional tentang kajian satu virus baru yang belum ditemukan obatnya. Dan rumah sakit kita ini mempercayakan anda anda ini untuk mewakili dan menyumbangkan ide di forum tersebut. Kegiatan akan berlangsung selama kurang lebih 1 minggu di Jepang ,karena teknologi kedokteran di sana sangat unggul.", aku hanya mengangguk. Walau kutahu Yena tak begitu senang mendapat kabar ini .

"Untuk segala keperluan anda mulai dari keberangkatan ,berada di sana , dan pulang, semua telah disediakan sedemikian rupa oleh panitia. Jadi anda tinggal berpartisipasi dalam acara tersebut. Saya kira itu. Mungkin ada yang ditanyakan.", aku tau banyak pertanyaan di benak Yena ,namun nampak tak sedikitpun ada kemauan baginya mengucapkan semua unek unek di hatinya itu.

"Kapan kita berangkat pak?"  ,suaraku memecah hening yang selama sekitar 30 detik menyelimuti ruangan selebar 8x6 m² itu.

"Anda akan berangkat lusa. Untuk jam nya menunggu informasi , dan juga saya akan meluangkan waktu untuk mengantarkan. Karena ini forum yang sangat penting.", aku tersenyum ,begitupun Yena. Senyumnya terlihat begitu tak ikhlas ,namun dia hanya diam tanpa kata.

"Kalau begitu terima kasih. Silahkan kembali ke pekerjaan anda masing-masing ",direktur mempersilahkan kami keluar.

"Terima kasih pak ,kami permisi.", Yena akhirnya angkat bicara , kami melangkah beriringan melewati lorong di depan ruang direktur 

"Kamu nggak suka kan sama rencana direktur ngirim kita berdua?", aku memberanikan duri untuk bertanya. Meskipun tanganku sudah bergetar begitu hebatnya.

"Udah tau kan.", jawabnya singkat dengan nada tidak menyenangkan.

"Kenapa kamu tadi nggak usul buat digantiin.",dia berhenti , kemudian menghadap ke arahku

"Ini amanat ,nggak semua orang dapat kesempatan ini. Dan pastinya aku nggak aka nyia nyiain semua ini cuma gara gara kamu.", dia nampak begitu kesal ,dan langkahnya melaju cepat di depanku. Apa aku salah lagi?

------

Langkahku ragu. Sebuah kotak kecil dengan pita merah melilitnya kini berada di genggamanku. Ragu ragu aku mengetuk pintu kayu bercat putih itu. Di atasnya bertuliskan "dr. Ananda Rayna", walau ragu menyesakkan dadaku saat itu. Aku memberanikan diri mengetuknya. Tak lama , pintu di buka. Suster pendampingnya. Refleks tanganku menyembunyikan kotak kecil yang sengaja memang kubawakan untuk si pemilik ruangan.

"Dokter Ana ada?", suster itu mengangguk mempersilahkan ku masuk. Ada ruangan di balik ruangan ini. Dan itu yang sejatinya menjadi ruangannya. Aku masuk ,melihatnya sedang serius mengenakan sebuah kaca mata dengan frame hitam yang membuatnya semakin cantik. Terlihat membaca sesuatu dari balik layar komputer yang sengaja disediakan rumah sakit di meja kerjanya.

Perlahan namun pasti ,tanganku meletakkan kotak tersebuat di atas mehanya , di samping name desk nya. Dia menatap ku perlahan mulai dari tangan hingga wajahku. Dia melepas kaca natanya ,dan mulai menatap ku lamat lamat.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang