Ready?

34 5 7
                                    

Rendi here

Dalam deru angin malam yang terasa dingin menusuk membawa bimbang dan beberapa getaran pada jari tangan yang hendaknya berusaha menyapa sang pujaan hati yang tengah berbatas ruang sepanjang entah berapa kilometer. Bimbangku bercampur bahagia. Esok adalah penentunya. Bukan esok tapi seminggu ke depan , seminggu yang mungkin akan mempengaruhi umur yang akan kutempuh selanjutnya. Terlalu malam untuk tak merasa kantuk. Aku butuh istirahat. Tapi sebuah rebahan tubuh dan pejaman mata sama sekali tak menghasut fikiranku beristirahat sejenak saja. Aku menuliskan beberapa kata di layar smartphone, tapi juga berulang kali kuhapus.

Selamat istirahat , fokus besok.

Send. Sent.

Terkirim sudah. Kalimat yang tak kubutuhkan jawaban. Yang tak kan memaksaku merasa sakit hati karena tak ada balasan. Aku tak menunggu balasan. Kini aku harus lebih tegas. Aku menunggu takdir menemuiku dan mengusahakannya atas semua penantian yang menyakitkannya luar biasa.

Ting ..ting...

Makasih , sleep well

Dia membalas? Sungguh? Apa aku terlalu merasa kantuk akan balasannya. Aku menatapnya tanpa berkedip ,meyakinkan ini bukan bagian dari mimpi indahku. Kumohon Tuhan , ini serius bukan?
-----

Suasana airport begitu ramai kala itu. Beberapa kali suara syahdu perempuan terdengar dari sumber informasi. Kami duduk saling berhadapan ,menunggu beberapa orang yang katanya akan melepas kepergian kami.

Diam ,larut diantara ramai yang membisingkan. Tawa yang mengesankan dan tangis yang mengenaskan. Kami hanya sibuk membolak balik brosur penerbangan tak berani saling sapa. Canggung ,itu tepatnya.

"Hei.", seseorang memegang pundakku. Sontak mataku menatapnya bersamaan Yena.

"Loh Din? Katanya sibuk.",sahutku kaget ,dia tak memperhatikan.

"Baca apa Yena?", Yena menunjukkan cover brosur.

"Cuma brosur.", jawabnya dingin. Setauku hatinya pasti sedingin wajahnya saat ini.

"Eh by the way Yen , Mada nggak nganter lo?", Yena hanya menggeleng. Mengapa Dini mesti menanyakannya? Menyebalkan.

"Emmm... Kok gitu sih? Aisshhh..", air muka Yena mulai memerah ,hatinya pasti tengah terbakar api amarah.

"Eh Yena , boleh ngomong ?", tanya Dini lirih

"Dari tadi perasaan juga udah ngomong.", Yena menyautnya kesal. Dini segera menarik lengannya. Mereka berdua menepi di sudut lobby , entah serius benar yang mereka bicarakan.

Aku hanya diam , sesekali mencuri pandang ke arah mereka. Dini terlihat memberikan sesuatu yang entah apa itu , terlihat seperti suatu kotak yang tak asing di mataku.

Mereka kembali demgan wajah Yena yang merah padam. Begitu mencurigakan.
"Berangkatlah kalian. Berhati hati lah. Aku ingin kalian kembali dengan selamat." , kata Dini sambil tersenyum keibuan. Ia menjauh ,setelah tangannya menepuk punggungku pelan mengucapkan selamat tinggal. Aku masih takzim menatap Yena yang terpaku kosong menatap lantai ruang tunggu bandara. Langit langit ruangan terasa lengang kembali.
------

Kami berangkat , duduk bersebelahan di kabin pesawat kelas bisnis. Dia memiringkan tubuhnya dariku , memilih meminta pramugari mengantarkan selimut untuknya beristirahat. Padahal ini baru awal perjalanan. Aku tau ada sesuatu yang tidak beres di sini. Tapi bukankah selama ini tak ada yang beres di antara kami. Setelah semua tingkah bodohku malam itu.
Hatiku berkata ragu , aku ingin mengajaknya bercengkrama paling tidak kami harus mampu menjalin komunikasi yang baik agar tak canggung saat mempresentasikan ide kami nanti. Aku memberanikan diri meski saat itu tanganku bergetar hebat , basah akan keringat dingin.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang