14. Is That My Chance?

62 11 4
                                    

Rendi here.

Mataku menatapnya berbalik ,bahunya kini telah menghilang di balik ramainya orang orang keluar masuk rumah sakit. Sebuah lambaian yang membuatnya salah tingkah sudah cukup buatku. Akhirnya setelah sekian lama aku mampu melihat senyum meneduhkan itu kembali. Aku begitu bahagia,hingga rasanya jantungku berhenti berdetak.

Malam masih menyimpan misteri bagaimana malam esok akan ikut menyambutku. Apakah akan semembahagiakan seperti hari ini ,lebih baik ,atau lebih buruk? Namun biarlah dibawa olehnya misteri hidupku. Karena di malam pula lah aku melukainya ,menggoreskan luka yang lebih tajam dari pada goresan kaca atau besi paling tajam sekalipun.

------

Yena here

"Sayang.", Mada memulai pembicaraan.

"Iya kenapa?",tanyaku yang ternyata dari tadi masih memikirkan apa yang terjadi hari ini.

"Aku liat ,dari tadi kamu senyum senyum terus? Ada yang bikin kamu seneng banget deh kayaknya?",refleks aku tertawa kecil.

"Nggak kok. Emang keliatan gitu ya?", wajahku memerah perlahan ,walau tak jelas kutahu bagaimana kondisi wajahku saat ini.

"Nah loh tuh , pipinya sampe merah gitu. Kenapa sih sayang?", kata Mada sambil tersenyum simpul

"Nggak papa kok., cuman seneng aja hari ini semua lancar.",kataku bohong sambil mengernyit. Dia hanya tertawa kecil. Tak lama kusadari , aku harus memberitahunya tentang perjalananku bersama Rendi ke Jepang. Tapi bagaimana mengatakannya? Semua tak kan cukup mudah bukan? Tapi bila tak kukatakan sekarang bagaimana jadinya ,keberangkatannya lusa. Lidah ini kelu berucap.

Akan sulit bagiku mengungkapkannya. Baiklah mungkin harus kutahan kalimatku dan menyiapkan kata untuk mengatakannya esok.

--

Hy Rendi here.

Malam ini, sepulang dari rumah sakit aku ada janji ke rumah Dini. Langit tampak terang, dengan bintang bintang bertabur di sisi gelapnya. Menemani bulan yang kesepian, hanya mampu melihat matahari dari jauh. Namun membawa senyum matahari selalu di sisinya. Mungkin pas sekali nasib sang bulan denganku. Kini berada di sisi jauh dalam suudut hati matahari namun selalu membawa senyumnya dalam pikiranku.

Pedal rem kuinjak. Pelan hingga tak menimbulkan decitan. Mobilku berhenti di depan rumah yang bisa dibilang mewah itu. sebuah kantung kresek kubawa menuruni mobil. Melangkah pasti ke arah pintu rumahnya.

Tok tok tok...

Tak lama pintu terbuka. Senyum malaikat kecil itu meneduhkan peluhku hari ini. Menambah sempurna senyum yena yang terulas di otak. Arjuna Scveinder, malaikat kecil Tuhan yang selalu membawa teduh. Malaikat pereda amarah.

"Papa datanng!!!", serunya segera memelukku atau lebih tepatnya kakiku. Tingginya belum sampe sepinggangku. Dia begitu tampan. Wajah bulenya begitu terlihat mulai dari mata dan hidung.

"Jadi datang lo Ren.", seseorang menyauti. Dengan gaya casual , tubuhnya terbalut kaos dan celana pendek selutut. Namun ia selalu nampak sama Dini yang kukenal.

"Kan gue udah janji ke Juna. Oh ya Juna ini Papa bawain pizza pesenan Juna. Pizza keju , sossis nya dibanyakin.", Juna menyeringai , matanya yang beriris kecoklatan nampak berinar. Manis sekali.

"Masuk gih.", aku menyerahkan kantung kresek yang kubawa ke Dini, dan segera menaikkan Juna ke atas gendonganku. Tubuhnya sama sekali tak berat , sehingga tak masalah bagiku menggendongnya sesering mungkin.

"Oh iya Din. Ntar ada yang mau gue omongin sama lo.", Dini mengangguk paham.

-----

Juna sudah tertidur , setelah menghabiskan pizza keju dengan sossis yang dibanyakin dengan lahap , dia tampak terlalu kenyang dan merasa mengantuk. Sebuah cerita tentang kancil kubacakan padanya. Dan matanya terpejam di bawah lampu kamar yang akhirnya berubah temaram. Aku menemui Dini yang sedari tadi memperhatikan kami dari pintu. Aku menghampirinya, langkahnya menuntunku ke ruang tamu , dengan pintu yang terbuka lebar , taman yang nampak sendu karena lampu kuningnya menjadi pusat pandangan kami.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang