7. We Still Have the Same Feel

72 10 2
                                    

It's me Yena.

Jalanan Jogja mulai memadat. Desau angin malam semakin mencekam kala itu. Mendung mulai menyelimuti bulan yang kedinginan. Aku duduk termangu di bawah redup sinarnya. Sebelum benar benar kembali ke rumah ,Mada mengajakku untuk menikmati secangkir kopi sebentar di salah satu cafe yang juga berbaris di sudut kota.

"Bagaimana pekerjaannya sayang?", tanya Mada membuka pembicaraan.

"Yah ,sebagaimana mestinya. Sepertinya aku akan enjoy dengan kegiatan ini.", jawabku ,walau parau kacau fikir ini memikirkan perkataanku yang kurang pantas pada Rendi siang tadi

"Sudah dapat banyak teman?", kembali sebuah pertanyaan dilontarkan sambil menyeruput secangkir kopi susu yang disajikan hangat dengan beberapa mackerel di atas piring kecil yang anggun tepat di sisinya.

"Emm.. Lumayan sih.", aku mengikutinya ,menyeruput kopi di dinginnya malam khas Jogja yang jelas beraroma asmara. Namun satu hal mengalihkan tatapnya.

"Kemana kalungmu sayang?", dia nampak sedikit resah. Sesungguhnya barang itu lebih berharga baginya daripada bagiku. Aku tak sungguh sepenuhnya peduli pada kalung pemberian yang mengikatkan janjinya untuk segera meminangku dalam waktu dekat.

"Oh ,maaf ya sayang ,dia ..........putus.", kataku terucap dengan rasa yang cukup berat tanganku segera menuju ke dalam tas , merogohnya sedikit dan berakhir menemukan seuntai kalung bersama liontin cincinnya.

"Ah... Sini biar kubawa.",diambilnya kalung itu dari genggamanku. Matanya jelas tersirat kecewa.

"Kamu marah?",nadaku lirih takut. Dia menggeleng ,dilemparkan pada tatapku senyum yang selalu bisa menenangkan kacaunya hati di segala suasana.

"Temanku bisa memperbaikinya. Akan kubawa ia sementara waktu, sayang.", aku menghela nafas lega. Untunglah dia tidak sampai marah atas kejadian ini.

"Ngomong ngomong ,gimana bisa ini putus?",dia bertanya penasaran.

"Tadi itu aku ambil minuman kaleng dari mesin ,eh entah nyangkut atau gimana lepas." ,dia mengangguk paham. Wajahnya nampak mampu berdamai walau kekecewaan telak telah mengisi binar matanya malam itu.

--------
Yah. Kembali denganku Rendi.

Aku diam menatap pemandangan yang demikian. Ia nampak sedang berbincang bincang hangat di dinginnya malam menghadap secangkir entah kopi teh atau semacamnya. Mataku memang tak sejelas dulu. Namun dengan kaca mata yang minusnya sudah 4 ini , aku masih mampu menatap lembut parasnya yang anggun. Aku kembali harus mengaguminya seperti ini. Menatapnya dalam dari kejauhan berbatas udara dan kaca serta beberapa orang yang numpang lewat. Kembali seakan aku hanya pemeran figuran bahkan dalam lakon kisah hidupku sendiri.

Suara klakson mobil belakang menghentikan lamunanku. Mengajakku kembali ke dunia nyata untuk segera menginjakkan gas dalam karena jarak mobil di hadapku sudah cukup jauh. Dan malam itu aku berlalu memandang paras bidadari yang salah ditempatkan Tuhan ke bumi.

------

"Selamat pagi.",sapaan satpam yang telah bekerja sekitar 20 tahun di rumah sakit ini tak bosan bosannya menyambutku. Pagi ini , langit diselimuti permen kapas yang membuat matahari malas bersinar.

Setelah memarkir mobil ,langkah ini langsung menjurus masuk melalui loby rumah sakit. Loby masih begitu sepi. Hanya ada seorang suster resepsionis yang berjaga di belakang meja panjang. Yah , hari ini memang masih begitu pagi. Belum banyak orang keluar masuk pintu membawa duka karena sakit atau bahagia karena sembuh.

Sengaja memang hari ini ,aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Hari ini , Yena mulai bekerja denganku. Dan mungkin hari ini juga Yena akan memasuki ruanganku. Entah kenapa ada satu hasrat yang begitu mendorongku untuk segera merapikan ruangan ini sebelum Yena memasukinya. Aneh memang bertindak tak sebagaimana mestinya. Namun ,hatiku ingin sekali menyambut Yena ,dan membuatnya terkesan akan ruang kerjaku.

Silent Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang