'Aku disini, di kirimkan oleh Tuhan untuk mengajarimu tentang cinta. Tentang apa arti dari kata cinta yang sebenarnya. Dan sekarang, sudah saatnya aku kembali kepada-Nya karena tugasku di dunia ini? telah selesai.'
***
Malam ini tak seperti malam-malam biasanya. Kini, hati Ali tengah gelisah. Entah kenapa, hari ini ia merasa ada yang mengganjal pada hatinya. Batinnya seolah mengatakan bahwa ada yang tidak beres pada Prilly.
"Vin, perasaan gue kok nggak enak banget, ya?" ucap Ali pada Vino. Vino menoleh kearah Ali lalu mengernyit heran.
"Perasaan apaan? Itu cuma perasaan lo doang, kali. Udah, nggak usah di pikirin, Li." ucap Vino berusaha menenangkan Ali.
Ali menatap Vino serius. "Gue serius, Vin" tegas Ali.
"Gue juga serius, Li. itu cuma perasaan lo doang, kan? nggak tentu bener?"
Ali menghela napas-nya dalam. "Gue kepikiran sama Prilly." lirih Ali.
"Sebenernya lo itu cinta sama Prilly apa sama Liora, sih?" ujar Vino menyelidik. Ali mengangkat bahunya acuh bertanda ia tak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
"Gue juga nggak tahu. Yang jelas, gue nggak bisa milih salah satu di antara mereka." ujar Ali.
"Gue pusing tahu nggak? Ngadepin lo, Li." Vino hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sahabatnya ini.
***
Devo terlihat sangat panik. Ia tak henti-henti bergumam tidak jelas. Saat ini, ia sangat khawatir akan kondisi Prilly. Sudah kedua kalinya Prilly masuk rumah sakit karena pingsan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Prilly?
Prilly yang Devo kenal itu kuat, tidak selemah ini. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan Prilly dengan wajah yang tak bisa di artikan oleh Devo.
"Gimana, Dok. keadaan adik saya? Baik-baik aja, kan?" tanya Devo penasaran. Jelas sekali ada raut cemas dan was-was pada wajah tampan milik Devo.
"Mas, bisa ke ruangan saya? Kita bicara di ruangan saya." Ujar Dokter yang diketahui dari name tag-nya bernama, Feri. Devo mengangguk lalu ia berjalan pelan mengikuti Dokter Feri.
Sesampai-nya di depan pintu berwarna putih dengan tulisan yang bernamakan 'Ruangan Dr. Feri' itu, Dokter Feri masuk ke dalam di ikuti Devo di belakangnya. Dokter Feri mempersilahkan Devo untuk duduk di kursi yang memang di sediakan di ruangan ini, tepatnya di hadapan Dokter Feri.
"Jadi gimana, Dok. Kondisi adik saya?" tanya Devo tak sabar.
"Dia nggak apa-apa kan, Dok?" lanjut Devo.
Sebenarnya Devo ingin bertanya lebih banyak lagi terhadap Dokter Feri. Namun, ia urung-kan niatnya karena yang pasti ia akan membuat Dokter Feri bingung.
Terlihat Dokter Feri menghembuskan napasnya berat yang membuat Devo menjadi was-was.
"Jadi begini, Mas. Pasien yang bernama Prilly mengidap penyakit Leukimia stadium akhir. Penyakit Leukimia adalah penyakit kanker darah yang di karena-kan banyaknya sel darah putih daripada sel darah merah di daerah tulang sum-sum. Pasien di diagnosa sudah mengidap penyakit ini sejak 3 tahun yang lalu." jelas Dokter Feri.
Devo terlihat terkejut. Bagaimana bisa jika gadis kesayangannya mengidap penyakit mematikan itu?
Pasalnya, Devo tak pernah melihat Prilly sakit sedikit-pun. Kini ia sadar bahwa, adik-nya memang sangat pintar menyembunyikan semua rasa sakitnya."Apa itu bisa di sembuhkan, Dok?" tanya Devo was-was.
"Penyakit Leukimia dapat di sembuhkan dengan melakukan Kemoterapi. Tapi, dari melakukan kemoterapi itu ada efek samping-nya, Mas. Seperti, rambut mulai rontok dan kemungkinan semua rambut-nya akan habis. Mata menjadi sedikit rabun, dan badan menjadi kecil." Jelas Dokter Feri yang berhasil membuat Devo membelakan matanya tak percaya.
Devo menjambak rambut-nya frustasi. Cobaan apa lagi yang datang menghampirinya?
"Lakukan yang terbaik buat adik saya, Dok." ucap Devo tegas.
"Tapi, Mas. Di dalam kemoterapi itu ada yang bisa menerima dan ada juga yang tidak bisa menerima. Jika penyakit Leukimia yang terjadi pada pasien menerima kemoterapi-nya? Maka ia akan sembuh. Tetapi, jika penyakit Leukimia pada pasien tidak menerima-nya? Pasti pasien akan meninggal dunia. Tapi, kebanyakan penderita penyakit mematikan seperti ini? Tidak akan bertahan lama, Mas." lanjut Dokter Feri.
Devo terdiam. Kini, air mata meluncur pada kelopak mata indahnya. Devo menjambak rambutnya frustasi. Bagaimana ini? Kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini?
Devo mengusap air mata-nya dengan kasar lalu ia menatap Dokter Feri kembali.
"Kira-kira, kalau melakukan kemoterapi sampai berapa kali, Dok?" tanya Devo.
"Itu tergantung pada pasien, Mas. Jika tubuh pasien menerima kemoterapi ini,ia akan cepat sembuh. Tetapi jika tubuh pasien tidak menerima-nya, ia pasti tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi." ujar Dokter Feri.
Devo menghembuskan napasnya dalam-dalam. "Baik, Dok. Lakukan yang terbaik buat adik saya. Saya menerimanya kalau memang Prilly harus di kemoterapi." ujar Devo dengan suara yang terkesan tidak rela.
Dokter Feri mengangguk pelan.
"Baik, Mas. Semoga saja dengan kemoterapi ini pasien bisa sembuh. Yang saya takutkan adalah jika tubuh pasien tidak menerima-nya dan pasien bisa kehilangan nyawanya. Karena pasien sudah mengidap penyakit Leukimia stadium 4 yang artinya adalah stadium akhir. Tapi kita akan berusaha semampu kita untuk menyembuhkan pasien." ujar Dokter Feri.
Devo mengangguk lemah mendengar ucapan Dokter Feri.
"Saya berhara, semoga Prilly bisa sembuh dari penyakit ini. Saya permisi dulu, Dok." lirih Devo lalu keluar meninggalkan ruangan Dokter Feri.
Devo berjalan gontai, pikirannya melayang-layang entah kemana. Yang jelas, saat ini dada-nya terasa sangat sesak. Napas-nya tercekat. Devo berjalan ke arah ruangan dimana Prilly di rawat. Setibanya di ruangan Prilly, Devo dengan agak sedikit berlari menghampiri Prilly yang masih terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur rumah sakit. Wajah Prilly terlihat sangat pucat. Namun, paras cantik dari wajah Prilly tak pernah hilang walaupun kini ia tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Devo merengkuh tubuh Prilly erat. Air maya yang sedari tadi ia tahan kini meluncur dengan derasnya. Devo seperti lalai menjaga gadis kesayangannya. Ia lalai menjaga adiknya untuk kedua kalinya. Isakan demi isakan Devo menggema di dalam ruangan ini.
Wajah Devo kini sudah berlinangan oleh air mata. Tak bisa ia bayangkan jika suatu saat nanti ia harus kehilangan separuh jiwanya. Entahlah, apa yang akan terjadi di kemudian hari tanpa ada-nya sosok Prilly.
"Prill, kenapa kamu nggak bilang sama Abang kalo kamu sakit?" lirih Devo masih dengan isak tangisnya.
Tiba-tiba ada tangan mungil yang mendekap Devo walaupun tidak erat. Tapi, dekapan itu sangatlah hangat. Devo berhenti menangis lalu ia melepaskan pelukannya pada Prilly. Dan, betapa terkejut-nya ia ketika mendapati Prilly yang telah tersadar dari pingsan-nya. Prilly juga sama seperti Devo. Ia tengah menangis walaupun menangis dalam diam-nya.
"Abang udah tahu semuanya? Maafin Prilly kalau Prilly udah bohongin Abang selama ini. Itu semua karena Prilly enggak mau Abang khawatir sama Prilly, dan Prilly juga enggak mau kalo Prilly menyusahkan Abang." Lirih Prilly. Suaranya terdengar samar-samar. Mungkin efek dari pingsannya tadi.
Jangan lupa vote comment y hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA {Aliando-Prilly}
Fanfiction[Cerita telah diterbitkan] Luka ini kian membesar seiring cinta-ku yang juga semakin besar untukmu. Happy reading, guys! Jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya? Thank you. By: Adinda Soraya and Sahlaa Yusriah.