sepuluh

6.3K 416 8
                                    

Cuaca kali ini terlihat mendung. Entah mengapa cuaca saat ini seperti mewakili perasaan kedua insan yang sama terlukanya, Ali dan Prilly. Walaupun mereka di pisahkan oleh jarak. Namun, keduanya masih memikirkan satu sama lain.

Saat ini Prilly masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Badannya masih terasa lemas untuk bergerak karena ia baru saja selesai Kemoterapi.

Tiba-tiba, suara decitan pintu kamar rawat inap Prilly terdengar. Membuat Prilly sontak menoleh ke arah pintu. Senyuman manis perlahan mengembang pada bibir ranum milik Prilly.

"Prill, gimana? Ada yang sakit enggak?" tanya Devo lembut sembari mengusap dahi Prilly pelan.

Prilly menggeleng.

"Enggak kok, Bang. Ga ada yang sakit." ucap Prilly pelan sembari tersenyum lembut.

"Abang bawain makanan kesukaan kamu, loh." ucap Devo sembari membuka kantung plastik yang tadi ia bawa.

"Nih, martabak manis spesial untuk orang yang spesial." ujar Devo sembari tertawa pelan. Prilly pun ikut tertawa melihatnya. Prilly bangkit dari tidurnya di bantu dengan Devo. Lalu Prilly mengambil satu martabak manis itu dan melahapnya dengan rakus. Devo hanya tersenyum melihat pemandangan indah di hadapan-nya.

"Prilly kapan pulang, bang?" tanya Prilly sembari menatap sendu kearah Devo.

"Sekarang juga kamu boleh pulang, kok." ujar Devo yang membuat Prilly tersenyum senang mendengarnya.

"Tapi kamu abisin dulu martabaknya, ya?" ujar Devo yang membuat Prilly mengangguk senang.

"Abang keluar dulu, ya? Sebentar doang, ko. Mau ambil resep obat dokter. Love you!" ujar Devo sembari mengecup singkat dahi Prilly.

"Love you too, Abang." Sahut Prilly tersenyum manis.

Devo juga tersenyum manis kearah Prilly. Lalu ia berjalan pergi meninggalkan Prilly. Setelah dirasa Devo sudah pergi, Prilly bangkit dari duduknya lalu ia berjalan kearah cermin untuk melihat pantulan dirinya.

Prilly menyisir rambut panjangnya yang tergerai indah dengan jari-jari lentiknya. Betapa terkejutnya Prilly ketika rambutnya banyak yang rontok. Kini setengah rambut Prilly berada dalam genggamannya. Mungkin, ini adalah efek dari kemoterapi yang ia jalani beberapa menit yang lalu. Prilly menghembuskan napasnya dalam. Air mata lagi-lagi turun dari mata indahnya. Namun, Prilly segera menghapus air matanya itu.

"Prilly harus kuat!" Ujarnya tegas berusaha menguati dirinya yang sebenarnya rapuh saat ini.

***

Kini Ali tengah duduk di kursi yang memang sengaja di taruh di balkon kamarnya. Pikirannya kali ini berlayang-layang pada Prilly. Apa kabar Prilly disana? Perasaan ini yang membuat Ali selalu gelisah. Perasaan yang membuatnya bimbang. Membuatnya tidak bisa memilih antara Prilly atau Liora.

Ali menggeram tertahan lalu ia mematikan puntung rokok-nya yang menyala. Ali memejamkan matanya erat, tangan terulur Ali menarik rambutnya sendiri frustasi. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang menepuk pelan bahu Ali. Ali membuka matanya dan mendapati Liora berada di sampingnya sembari tersenyum manis.

"Kamu kenapa, Li?" tanya Liora lembut yang membuat Ali hanya menggeleng pelan.

"Aku gapapa, Ra." Sahut Ali pelan tanpa melihat kearah Liora.

Liora terlihat menghembuskan napas-nya dalam.

"Pasti gara-gara perempuan itu lagi, kan? Kamu belum bisa move on dari dia?" tanya Liora sarkatis.

Ali hanya menggeleng pelan yang membuat Liora menggeram tertahan. Lalu, Liora tersenyum sinis.

"Lo udah rebut semua yang ingin gue miliki, Prilly. Tunggu tanggal mainnya ya, sayang?" batin Liora sinis.

LUKA {Aliando-Prilly}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang