Jarum jam sudah berada di angka empat.
Akhirnya aku bisa bernapas lega selepas kelas Statistik Psikometri yang menguras kerja otakku.
Aku melihat dari ujung mataku ke jendela di samping kiriku, ikut merasakan panasnya sinar matahari sore di luar sana yang membuatku justru terdiam menatap kosong jendela di sampingku.
Aku merasa saat ini seisi kelas sunyi,
tidak mengeluarkan suara apapun. Yang terdengar hanya detak jantungku yang berirama pelan, namun menyesakkan dada disaat sekelebat bayangan orang itu tiba-tiba saja mampir di sela penglihatanku. Aku mengerjap pelan sambil menggelengkan kepalaku, dan fokusku beralih lagi pada jendela di sampingku hingga bayangan orang itu menghilang digantikan bayangan gedung-gedung bertingkat.Entah mengapa, aku merasa akhir-akhir ini selalu berhadapan dengan situasi seperti ini. Terlalu sering bayangan itu tiba-tiba muncul tanpa kuminta. Sosoknya.
Hingga yang paling sulit ... kenanganku bersama orang itu.
Semakin aku menengok ke jendela di sampingku, membuat napasku semakin tercekat. Tapi apa yang bisa kulakukan?
Aku akan terus berhadapan dengan suasana langit sore seperti ini tanpa bisa kucegah.
Ya, senja ... saat langit menampakkan keindahan dirinya. Kala langit nampakkan warna kelam, kala langit mulai beradaptasi dari terang menuju warna yang lebih indah menurutnya.
Tak mau terus-menerus seperti ini, aku mencoba bangkit dari kursiku lantas menarik tasku di bawah meja. Aku menghiraukan semua panggilan seisi kelas yang tertuju padaku, tak peduli apa yang mereka ingin bicarakan, aku hanya ingin pulang saat ini.
Aku melangkahkan kakiku pelan, tak menghiraukan ricuh para mahasiswa yang menikmati euforianya masing-masing sehabis kelas mereka usai.
Melangkahkan kakiku tanpa minat menuju lift yang sudah ditunggu banyak orang. Aku berdiri di antara mereka, menunggu pintu lift terbuka di angka 4.
Ketika aku memasuki lift, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan pemandangan kaca yang lebih besar dari kelasku tadi dan menyuguhkan langit sore yang terlihat jelas dari dalam sini.
Sialnya, kaca tembus pandang ini berada tepat di sampingku, karena tubuhku yang terdorong masuk oleh penumpang lift lainnya.
Sepertinya, sore ini terasa kacau. Ah, tidak! Akhir-akhir ini pulang sore terasa sangat kacau sejak dua hari yang lalu.
Aku tak mau melihat kaca tembus pandang di sampingku. Dan aku merasa perjalanan menuju lantai 1 lebih lama dari biasanya.
Tepat setelah bunyi 'ting' tanda lift sudah sampai di lantai tujuan, ponselku ikut berbunyi.
Cepat-cepat aku keluar dengan berdesakan dan memilih untuk minggir di samping pintu lift lalu merogoh tasku guna melihat siapa yang mengirimiku pesan.
Ketika aku melihat layar ponselku, ternyata bukan nama seseorang yang kuharapkan itu.
Melainkan Asyara yang terpampang pada layar ponselku. Aku tersenyum kecut.
Apa sih yang aku pikirkan? Apalagi yang kuharapkan? Apa aku berharap kalau nama orang itu yang akan muncul? Bodohnya!
Asyara Meilani
Pulang sama siapa, Del?Aku bergeming, menatap kesal layar ponselku sendiri. Untuk apa dia menanyakan hal retoris seperti itu?
Dela Asmarani
Sendiri lah, sama siapa lagi?Tak butuh waktu lama, Asyara sudah membalas pesan singkatku dengan menjengkelkan.
Asyara Meilani
Oh, dikira pulang sama Sen...Sialan! Apa-apaan sih Asyara ini? Langsung saja aku menutup ponselku. Berjalan dengan hentakan kaki lebih cepat dibanding tadi. Aku malas untuk membalas pesan singkatnya. Melangkahkan kakiku menuju parkiran motor yang terasa lebih jauh dari biasanya.
Ting
Ting
TingAku geram. Asyara tak akan menyerah menggodaku hingga aku membalas ketus pesan singkatnya. Setibanya aku di depan motor putihku, aku langsung mengeluarkan kunci beserta ponsel dari dalam tasku.
Asyara Meilani
Eh, sorry gue lupa kalo lo udah kelar sama dia
HA HA HA
Take care ya! Jangan ngambek sama gue, please! 😩😞😞Aku tersenyum skeptis, sudah kuduga ejekan recehnya memang menyebalkan.
Dela Asmarani
YAku tertawa dalam hati, kuyakin Asyara memakiku saat ini dengan balasan super singkat dariku. Dia memang paling bisa membuatku melupakan sejenak kegalauanku, walaupun dengan cara paling menyebalkan.
Di saat aku hendak mengenakan helm, seluruh tubuhku terasa kaku dengan satu fokus mataku yang tertuju di satu titik.
Orang yang paling kuhindari saat ini justru berhenti di hadapanku bersama seorang cewek yang tak pernah kukenal.
Aku merasa detik ini juga waku berhenti berdetak.
Sangat lama.
Karena mata kami saling bertemu. Membuat tubuhku terasa semakin kaku. Lalu ia tersenyum. Membuat tubuhku semakin sekeras batu.
Bahkan tanganku yang sejak tadi memegang helm terasa berkeringat dingin.
Aku benci keadaan seperti ini. Aku benci dengan reaksi yang diberikan tubuhku di saat aku sendiri belum siap bertemu orang itu saat ini.
Orang itu adalah Senja.
Dia di sini bersama seseorang yang sepertinya sudah berhasil menggantikan posisiku di sisinya.
*to be continued*
===========================
04 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
Teen Fiction[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...